Social Icons

Pages

Sabtu, 31 Agustus 2013

Gorden



Gorden di kamar saya itu selalu dalam keadaan terbuka. Saya tidak terbiasa untuk menutup apapun saat saya ada di dalam kamar, juga saat tidur. Pintu di kamar selalu terbuka, juga gorden di jendela yang seperti jadi penghias saja. Bukan apa-apa, jika pintu dan gordennya ditutup, saya akan merasa pengap dan gerah. Dengan membukanya, membuat saya merasa lapang dan luas. Pun saat berganti baju, saya kerap tidak menutup pintu, juga gorden yang hampir selalu ada di pinggir jendela, tidak pernah terentang menutupi isi kamar. Sampai pada suatu kesempatan, saya harus merentangkan gorden itu.


"Tante, ganti dong bajunya. Kan mau pergi..." Setiap pulang kerja, saat sedang ada di rumah ponakan saya yang berumur empat tahun selalu ribut meminta saya mengganti baju. Awalnya saya pikir kenapalah dia ini rusuh sekali nyuruh-nyuruh saya berganti baju. Mungkin dia risih karena melihat saya sepulang kerja: terlihat lusuh dan gak fresh di matanya. Saya pun masuk kamar dan mengganti baju dengan pakaian dinas : daster kesayangan. Tentu tanpa menutup pintu, apalagi gorden yang betah di tepian itu. Ternyata, saat berganti baju, ponakan saya itu suka menelusup masuk ke kamar. Saya sebenarnya biasa saja, dan menganggap anak umur segitu rasa ingin tahunya tinggi. Namun ponakan saya sering sekali begitu setiap kali ke rumah, walaupun sudah dibilang untuk tidak masuk saat ada yang ganti baju, tetap saja dia lakukan. sampai mami dan kakak saya mengingatkan untuk menutup pintu saat berganti baju.

Maka di suatu kesempatan berganti baju dan ada ponakan saya di rumah, saya menutup pintu. Tadinya ponakan saya masih mecoba untuk ikut masuk ke kamar, tapi saya menahannya. Namun ia tak kehabisan akal. Ia berjalan ke sisi jendela dan berjinjit melihat saya. Gorden saat itu belum saya tutup. Saya geli melihat tingkah ponakan saya itu: ada saja akalnya. Saat saya akhirnya menutup pintu, juga gorden, ponakan saya tetap tidak menghentikan aksi ingin tahunya: dengan mengintip dari gorden yang tentunya mudah ditarik, dan karenanya, saya pun jadi ikutan menahan gorden, menahan rasa ingin tahunya yang sulit untuk dijelaskan kenapa dia tidak boleh melihat ke dalam kamar saat ada yang berganti baju.

Saya mencoba memahami apa yang dirasakan ponakan saya itu. Dia tentu ingin tahu, ingin tahu kenapa dia tidak boleh masuk dan melihat ke dalam kamar, tapi rasanya masih sulit untuk menjelaskan mengapa tidak boleh, sehingga kita hanya bisa menutupinya. Terkadang, kita pun juga menemukan hal-hal seperti itu: ada hal-hal yang bagi orang tersebut perlu untuk ditutupi dan tidak diketahui, tapi bagi orang lain melihatnya sebagai hal yang perlu dibagi. Misal: saat ada yang menutupi sesuatu dari kita, dan jatuhnya jadi berbohong. Kita pasti sebal, marah, dan kecewa saat orang tersebut menutupi sesuatu dari kita, terlebih orang tersebut sudah dekat dan suka berbagi cerita. Beribu pertanyaan muncul : kenapa sampai ditutup-tutupi segala? Bukankah biasanya berbagi cerita? Apa dia merasa saya ini tidak bisa dipercaya? Apa ada yang akan menyakitkan saya dari hal yang dia tutupi? Namun, buat saya saat kita ada di posisi orang yang tidak boleh tahu, makan mungkin memang sebaiknya kita tidak untuk mengetahuinya. Walau rasanya jadi penasaran, tapi percaya, setiap apapun yang terjadi pasti ada alasan, ada sebab akibatnya. Dan untuk hal-hal yang tidak kita ketahui, seberapa pun penasarannya kita, mungkin memang lebih baik untuk tidak diketahui. Berprasangka baik saja.

Gorden di kamar sedang berkumpul di tepian, tidak terentang. Malam ini terasa gerah, membuka gorden membuat saya bisa merasakan udara sesekali mampir melalui celah jendela. Saya tidak ingin menutup gorden saya saat saya tidur, cukup saya perlu menutupnya saat berganti baju saja.


August 31th, 2013
10:16 p.m.

Senja

Awan jingga Gelap kurasa di dadaLangitku meresah senduBayang dirimu menjauh
Biarkanlah cintaDiam dalam nadaHingga hariku berlaluBersama datangnya rinduMembawa semua mimpiku
Ku tahu di hati selalu ada dirimuTemani sepikuBersama senjaMenyimpan rasa ini sendiri
  


Cerita di balik lagu:

Saya tahu lagu ini dari postingan seorang teman di Path. Eh, bukan teman saya sih tepatnya, tapi dari om saya, dan saya tertarik dengan lagu ini karena............ yap, judulnya: senja. Siapa yang tidak cinta dengan keindahan senja? Dan lagu ini pun walau tidak bercerita seindah senja, tapi tetap saja menawan layaknya senja. Selamat menikmati senja dalam lantunan nada!


berhubung belum bisa menikmati senja berdua, jadi diwakilkan sama Sinichi dan Ran saja :)

Jumat, 30 Agustus 2013

Tempat Tidur

Sudah di hari penghujung mengikuti proyek #CeritaDariKamar, dan saya malah belum bercerita tentang benda yang selalu ada kamar, yang selalu setia menghuni kamar dan bersedia menopang kita, seberat apapun bobot badan kita. Ya, benda ini adalah tempat tidur. Sebenarnya saya juga bingung hendak bercerita apa, sesuatu yang beda tentang tempat tidur. Tempat tidur saya seperti kebanyakan tempat tidur yang lainnya, dengan model tempat tidur dua susun, berwarna pink dan bergambar rubah. Tempat tidur ini memang bernuansa anak-anak, tapi tetap saja tidak mengurangi kenyamanan dan kesediaannya untuk jadi tempat saya merebahkan badan, meletakkan letih, kantuk, segenap rasa lainnya, dan setelahnya saya bisa kembali merasa segar. Beruntung saya bukanlah tipikal orang yang susah tidur. Malah terlalu mudah untuk tidur. Jika saya bercerita saya tertidur di bus atau angkutan umum sekalipun, itu sudah menjadi hal yang biasa. Saya bisa tidur di mana saja, tanpa atau tentu dengan rasa ngantuk, tapi saya tentu lebih memilih untuk tidur di tempat tidur di kamar saya, tak peduli bagaimana pun keadaan kamar saya : rapikah atau berantakan, juga tak peduli bagaimana tempat tidurnya: berseprei atau tidak. 

Pernah saya dan teman-teman kerja ngobrol seputar tempat tidur. Tidak tahu apa awalnya pembicaraan sampai ke pembahasan tempat tidur, saat itu malah jadi asyik membicarakan tempat tidur.  Ada yang bilang kalau tidak bisa tidur sebelum kamarnya rapi. Dan punya kebiasaan tersendiri, dengan menumpuk bantal dan guling  di atas tempat tidur, sesuai dengan keinginannya. Ada yang bilang kalau suka tempat tidur dengan seprei yang wangi, bikin nyenyak tidur katanya. Saya jadi menilik ke diri saya sendiri, kok saya tidak punya syarat apa-apa untuk tempat tidur. Saya bahkan bisa tetap tidur, sama pulasnya saat tempat tidur saya berantakan, juga tidak berseprei. Terkadang saat masuk kamar, saya sudah terlalu capek, ngantuk, dan segera ingin tidur sehingga saya tidak mempermasalahkan keadaan tempat tidur saya. Kadang juga saya punya waktu untuk membereskan kamar, merapikan tempat tidur, tapi malah tidak saya manfaatkan, rasanya malas sekali membereskannya, hanya ingin langsung tidur saja. Ya, hal sesederhana apa pun kalau malas tidak akan jadi sederhana, selalu saja banyak alasannya. Harusnya untuk memerangi rasa malas, harus dilawan dengan sederhana pula : jangan malas!

 Oh ya, saya juga ingat akan obrolan teman saya yang sudah menikah dan berbicara tentang tempat tidur, dia yang selalu ingin rapi berbeda sekali dengan pasangannya yang cuek dan berantakan. Lucu ya, dua orang yang berbeda karakternya harus bersatu padu. Teman saya itu awalnya sebal dengan kelakuan suamiya. Tapi lama-lama karena melihat teman saya itu selalu rapi, membuat pasangannya menjadi mengikuti kebiasaan teman saya, yang selalu bersih dan rapi. Hhhm, mungkin saya pun akan begitu saat harus berbagi ruang kamar dengan dia-yang-kelak-jadi-pasangan-romantis-bahagia-sentosa-selama-lamanya, saat harus berbagi tempat tidur dengannya. Tak ada malas lagi untuk merapikan tempat tidur. Setuju? :)


lihat nih tempat tidurnya belum disepreiin. tapi nanti-nanti gak gini lagi,deh!nanti,iya nanti :D



Kamis, 29 Agustus 2013

Handphone

Saya memiliki handphone sejak kelas tiga SMA. Saat itu sudah mulai banyak teman-teman yang menggunakan handphone, sementara saya mesti bersabar mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk memiliki handphone. Ya, sejak kecil saya memang dididik untuk tidak selalu langsung mendapatkan apa yang diinginkan. Walau mungkin suatu hal yang saya inginkan itu dapat dengan mudah dipenuhi oleh orangtua, tapi saya selalu diajarkan untuk melewati suatu proses terlebih dahulu sebelum mendapatkan sesuatu. Maka untuk urusan handphone, butuh waktu yang cukup lama buat saya untuk mendapatkannya.

Hal ini pun berlaku juga untuk handphone saya yang satu ini, handphone ketiga saya yang dibeli dengan mengumpulkan uang dari gaji saya. Lumayan juga bisa membeli handphone yang juga bisa dipakai buat online, bisa memiliki beragam aplikasi sesuai keinginan. Walau begitu, makin ke sini saya malah jarang mengaktifkan layanan internet dari handphone, juga jarang berkomunikasi lewat handphone.

Saya telah memiliki handphone ini selama hampir sepuluh bulan. Handphone saya yang lama sebenarnya masih bisa berfungsi dengan baik, hanya saja saya ingin mengganti suasana dengan memiliki handphone baru.  Namun, dibanding dua handphone saya sebelumnya, handphone inilah yang belum punya chemistry yang kuat dengan saya. Begini, saya pernah tidak membawa handphone saat pergi seharian, dan saya merasa biasa saja, tidak khawatir akan ada yang menghubungi saya. Juga saat handphone saya tertinggal di tempat kerja dan disimpan teman saya. Waktu itu pernah handphone lama saya yang tertinggal dan saya minta tolong untuk handphone-nya diantarkan ke rumah saya. Tetapi dengan handphone ini tidak. Saya santai saja dan tidak meminta untuk diantarkan, karena saya tahu handphone
saya tenang-tenang saja. Dan memang begitu adanya. Tidak banyak nomor atau akun yang menghubungi saya. Sms dan telepon yang masuk seputaran teman-teman dan keluarga. Syukur saya juga jarang mendapatkan sms dan telepon yang menggangu. Buat saya, sms yang menganggu itu adalah sms pengingat dari kementrian (ya, entah kenapa saya kurang suka dengan sms-nya: terlalu perhatian namun tidak pas menurut saya), dan sms minta pulsa. Telepon yang menganggu itu datangnya dari tagihan kredit sepupu yang mencantumkan nomor telepon saya. Oh ya, sebenarnya kalau minta pulsa memang tepat sih dialamatkan ke saya, karena saya memang berjualan pulsa. Maka sms saya akhir-akhir ini kebanyakan seputaran minta kiriman pulsa (setelahnya tentu pada bayar yaa), sms dari tempat kerja, juga sms dari keluarga. Begitu pun telepon, hanya seputaran dari teman-teman, kerjaan, dan keluarga dan jarang pula.


Saya sebenarnya tengah heran: sekalipun handphone saya ini bisa membuat saya memilih aplikasi yang beragam,  sekalipun saya memasang wallpaper tokoh kesayangan, sekalipun saya memasukkan lagu-lagu kesukaan, memasang ringtone dengan nada menyenangkan, tapi tetap saja chemistry-nya belum muncul juga. Mungkin karena handphone ini belum berfungsi dengan baik sebagaimana seharusnya : sebagai alat untuk komunikasi, terutama berkomunikasi dengan orang-orang yang dikasihi.


Rabu, 28 Agustus 2013

Kaos Kaki Warna-Warni



Saya selalu memakai kaos kaki di saat keluar rumah sebelum mengenakan sandal atau sepatu. Memakai kaos kaki ini banyak manfaatnya: melindungi kaki dari alas kaki yang terkadang bikin sakit (apalagi kalau alas kakinya masih baru), sebagai sedikit ganjalan kalau sepatunya sedikit longgar (saya sering memakai trik ini), juga bisa sebagai bagian dari fashion. Saya pun tidak menyia-nyiakan kaos kaki untuk turut menunjang penampilan saya. Sebenarnya saya bukan orang yang peduli-peduli amat soal penampilan. Tapi kalau urusan kaos kaki, saya cukup memperhatikan pemakaian kaos kaki sesuai dengan warna baju yang dikenakan, biar terlihat matching gitu. Jika orang-orang suka memadupadankan busana yang dipakai dengan pemakaian tas, atau aksesoris, saya cukup di kaos kaki saja. Juga agar kaos kaki saya tidak tertukar dengan yang lainnya, terutama di tempat kerja.

Di tempat kerja saya yang mayoritas perempuan semua juga pada mengenakan kaos kaki. Warna kaos kaki yang kebanyakan cokelat membuat kita kadang mencari-cari yang mana yang kaos kaki kita. Pernah suatu waktu, kaos kaki saya dan teman saya tergeletak begitu saja dan berdekatan, merek kaos kakinya pun sama karena kita beli grosiran. Jadilah teman saya nekat untuk mencium bau kaos kakinya yang (katanya) khas (dan saya pun heran khas-nya itu dimananyaa?). Karena suka tertukar begitu, maka saya mencari kaos kaki yang berwarna-warni agar beda, walau saya juga punya banyak kaos kaki warna cokelat.

Saya memiliki kaos kaki dengan beragam warna, ada yang merah, merah jambu, hijau tosca, dan orange. Saya akan memakai kaos kaki sesuai dengan busana yang saya pakai. Seringkali teman-teman kerja yang suka berkomentar kalau saya selalu matching, walau yang matching cuma sekadar baju dan kaos kakinya. Bukan apa-apa, kalau mau bikin matching dari warna busana, tas, sampe aksesoris yang digunakan makan biaya juga, ya! Jadi saya pilih untuk  tampil beda cukup memadupadankan baju dengan kaos kaki saja. That's my choice to be different, even it comes only from pairs of colorful shocks! 


August 28, 2013
11:34 p.m.

Selasa, 27 Agustus 2013

Koran Harian

"Mbak, ternyata tukang yang ngedandanin rumah kita ini tukang koran papi dulu. Kamu masih inget gak?" Sepulang kerja dengan keadaan rumah yang lumayan seperti kapal pecah karena rumah sedang didandani, saya sudah dibrondong pertanyaan oleh mami. Saya sempat bertemu dengan tukang kemarin pagi, tentu saya tidak ingat sama sekali dengan tukang tersebut. "Tukangnya tadi bilangin kamu dulu masih kecil, sekarang udah gede ya bu... terus jadi tanya-tanya deh" Nah, apalagi mungkin saya bertemu dengan tukang itu saat saya masih kecil, mungkin saat saya hanya menggunakan kaos dalam saat di rumah, dan tukang koran itu mengantarkan koran pesanan papi, juga majalah Bobo setiap minggu. "Oh iya, tukang yang nganterin majalah Bobo kan?" Saya ingat saat saya masih kecil, papi menawarkan untuk berlangganan majalah Bobo, dan tentunya saya menyambutnya dengan gembira. Saya hanya ingat peristiwa itu, tidak ingat dengan tukang korannya. Dan kali ini saya juga tidak menceritakan tentang tukang koran, saya tidak tahu menahu tentangnya. Saya akan bercerita tentang koran, kenangan, dan pengharapan.




Koran terbitan hari ini tergeletak di tempat tidur. Tumben sekali ada koran edisi terbaru di rumah. Biasanya koran yang ada di rumah merupakan edisi lama yang dialihfungsikan untuk apa saja -- mengelap kaca, jadi alas lemari, jadi pembungkus, atau apapun yang diambil dari rumah saudara yang berlangganan koran. Ngomong-ngomong tentang langganan koran, menilik dari cerita di paragraf atas saya jadi menghitung kapan terakhir kali berlangganan koran -- sepertinya tiga belas tahun yang lalu, waktu yang lama ya! Sejak berhenti berlangganan koran, saya pun jarang sekali membeli koran. Tak tahulah kenapa saya malas membeli koran, padahal harganya murah sekali. Kalau membacanya, tiap kali ada koran yang tergeletak pasti saya baca. Walau saya membacanya secara acak, mencari kolom berita yang saya suka saja untuk dibaca pertama kali (biasanya berita seputar olahraga --sepak bola, atau entertainment). Atau hanya menyisir kolom-kolom berita di koran tanpa membacanya lebih lanjut. Benar-benar seenaknya saja dan sesuka hatinya dalam membaca koran.

Di zaman sekarang yang serba canggih, berita dapat diakses secara online dengan cepat dan mudah, mungkin keberadaan koran menjadi tersingkirkan. Tapi kelak saya ingin berlangganan koran. Karena buat saya, koran tetap punya nilai tersendiri, nilai emosional kalau saya bisa bilang. Karena saat melihat koran yang tergeletak di kamar (sehabis dibaca mami) dan mengingat pertemuan kembali dengan tukang koran papi, membuat saya teringat sesosok pria yang suka membaca koran dengan bantuan kacamata, ya, papi saya. Sudah lama tentu saya tidak melihat sesosok pria tengah membaca koran di rumah. Mungkin kelak, saya bisa melihat kembali sosok pria membaca koran di teras rumah, menyeruput teh hangat, sambil mengobrol bersama setiap harinya, menumbuhkan getar-getar cinta di dada. Tentu saja, koran harian menjadi saksi bertumbuhnya rasa dan kebahagiaan dalam dua jiwa itu. 


August 27, 2013
10:28 p.m.

Senin, 26 Agustus 2013

Perahu Kertas

Perahu kertasku kan melaju..membawa surat cinta bagimu.. kata-kata yang sedikit gila..tapi ini adanya




Saya sedang tidur-tiduran saat lagu itu terputar dari siaran radio, membuat saya yang sedari tadi memikirkan akan menulis cerita apalagi seketika mendapatkan ide. Ya, perahu kertas. Ada banyak perahu kertas berlabuh di dalam kamar. Bukan apa-apa, terkadang saya suka iseng melipat-lipat kertas. Berhubung saya cuma bisa membuat perahu kertas, maka saya terus membuatnya. Mungkin kalau saya bisa membuat bentuk yang lainnya, saya akan membuat yang lain-lainnya. Biasanya saya melipat kertas saat sedang tidak ada kerjaan, paling sering melipat karcis BRT saat di dalam bus (sayang sekarang kalau tidak transit, tidak mendapatkan karcis, dan saya jadi kehilangan *beneran ini*). Terkadang saya membayangkan akan ada penumpang bus yang ingat kalau ada penumpang yang tangannya tidak bisa diam di dalam bus. Tidak bisa diam bukan karena sibuk sms-an, atau sibuk dengan gadget, tapi sibuk membuat perahu kertas. Setelah perahu kertas itu jadi, saya pun tidak membuangnya, malah membawanya sampai ke rumah dan tidak sengaja jadi mengumpulkannya.

Perahu kertas yang masih berlabuh di kamar. Tak ada surat cintanya, hanya kertas karcis BRT atau kertas tak terpakai lainya. Oh ya, ingat perahu kertas (secara harfiah) tentu saja jadi ingat karya ibu suri Dewi Lestari, novel Perahu Kertas yang juga telah difilmkan. Saya suka semuanya, suka novel Perahu Kertas, suka filmnya, juga soundtrack-nya. Jarang-jarang saya bisa menyukai semuanya. Banyak sekali novel yang saya baca, kemudian saat diangkat ke layar lebar malah menebar kecewa buat saya. Tapi tidak dengan Perahu Kertas, i love the whole package of it : novel, film, and the songs. Banyak kutipan-kutipan apik di dalam novel, saya juga suka bagaimana Dee membuat aliran sendiri dengan menciptakan istilah "radar neptunus", agen neptunus", "pura-pura ninja", i just love that! Juga suka dengan filmnya yang dimainkan dengan baik dan pas oleh para pemain (suka banget sama Remi, pengin puk-pukin Remi pasca putus sama Kugy di pantai), begitu juga dengan soundtrack-nya yang ciamik. Oh ya, kalau boleh memilih scene di film untuk menjelma jadi nyata, saya hanya ingin yang di bagian Kugy dan Keenan bertemu lagi di pernikahan  Noni -Eko. Begini kurang lebih dialognya: "Kemana aja bertahun-tahun ngilang gak ada kabarnya?" | "Saya di Bali, gy..."| "Kamu ngomong di Bali kayak abis study tour aja"|  Udah, cukup begitu saja scene pilihan saya. Selanjutnya, biar menjadi cerita tersendiri yang tentu tak kalah seru dan apiknya dengan cerita Perahu Kertas ini.

Perahu kertas masih berlabuh di kamar, tak ada surat cinta yang tertuju untuk siapa-siapa.  Lagipula, saya membuatnya bukan untuk seperti yang ada di lirik lagu, hanya karena iseng saja.


Note: lagi gak connect buat nulis, jadi ceritanya berantakan en kemana-mana gini. *lah, biasanya juga berantakan kali,ah mau connect mau kagak. Dah ah! :D



*Additional note: Whoaaa~~~ i got the scene! Iyah, itu loh scene yang Kugy & Keenan bertemu lagi dan ngobrol-ngobrol lagi. Seneeng ih liatnya! :)



Minggu, 25 Agustus 2013

(Bukan) Sepucuk Surat Cinta

Saya menemukan surat ini di dalam album foto lama. Sedikit lucu, karena saya menyimpannya di dalam album foto di masa saya masih berseragam sekolah, masa-masa di mana saya sedang naksir gila-gilanya dengan Mr. Smile, (ada di buku-catatan-gadis-penjual-pulsa ) , sementara surat ini saya dapatkan dalam rangka ulang tahun saya beberapa tahun lalu dari dia-yang-sudahlah-tak-usah-disebut-namanya. Memori pun menyeruak dan berebutan minta diputar. Tentu, saya masih dan lebih terpaku dengan surat ini. Sebenarnya ini bukanlah surat, hanya semacam kartu ucapan. Tapi berhubung ditulis di kertas dan agak lucu kalau saya menulisnya sebagai kertas ucapan, jadi saya singkat saja jadi surat. Ini surat pertama dan satu-satunya darinya yang suka menulis. Apa isinya manis dan romantis seperti tulisan yang dia tulis? Tidak, hanya berisi ucapan dan pengharapan atas bertambahnya usia saya kala itu. Tapi bagi saya, surat ini menjadi hal yang manis, yang lebih-lebih saya kecap manisnya saat dia entahlah di mana dan bagaimana kabarnya.


Surat ini ditulis tangan darinya yang mengaku saat menulis itu sedang ngantuk-ngantuknya. Tulisannya acak-acakan, tapi saya tak peduli, saya menyukai tulisan tangan, terlebih dari dia yang kala itu spesial. Dia yang suka menulis, tapi setahu saya dia tak pernah menulis untuk saya, Mmm, menulis tangan maksudnya, menulis tangan dengan sendirinya tanpa saya minta. Pernah saat saya dan dia tengah makan di restoran dan mendapatkan struk bayaran, saya iseng memintanya menulis. "Kamu kan penulis,suka nulis. Nulis apa kek gitu..." dia tersenyum, dan saya suka melihat senyumannya. Juga seingat saya, dia pernah saya minta untuk menulis di buku-buku kuliah saya, tapi buku-buku itu akhirnya dipinjamnya dan tulisan-tulisan itu pun kembali di tangannya, belum dikembalikan ke saya. Dia yang suka menulis, dan saya menyukai tulisan-tulisannya. Saya juga selalu mendukungnya untuk terus menulis, bahkan menjadi sedikit bawel perihal tulis-menulis.  Setiap kali mengunjungi toko buku, saya selalu berdiri di depan rak best-seller, atau di rak best fiction, atau di rak-rak buku mana pun, sambil menunjuk rak tersebut, saya berkata padanya, "When can i see your book over here?" Saya, sebagai pembaca (sedikit) karya-karyanya, percaya kalau tulisannya akan menjelma menjadi buku dan saya ingin melihat karyanya lahir dan memegangnya dalam bentuk buku. Bagaimana dengannya? 


Dia, yang suka menulis dan tulisannya bagus (walau tidak untuk tulisan tangannya :D), bahasa tulisannya mengalir, sederhana tapi indah dan bermakna. Hanya saja terkadang dia suka menghilang, kadang menulis, seringnya hilang, tidak rutin menulis. Itu yang tertangkap dari saya kala itu. Saya? Sekarang malah saya yang jadi suka nulis. Tadinya saya selalu memposisikan diri saya sebagai pembaca, pembaca, dan pembaca. Tapi lama-lama saya tertarik untuk menulis, walau tulisan saya masih seputaran tentang diri saya.

Hanya sepucuk surat, bukan surat cinta, membawa saya kembali terkenang akannya, membuat memori saya kembali penuh tentangnya. Tentang dia, tentang mimpi-mimpinya. Semoga mimpi-mimpinya bisa menjelma menjadi nyata, seiring dengan doa yang terpintal. Begitu pun mimpi-mimpi saya, semoga terwujud nyata, seiring doa dan upaya-upaya tentu.



Note : saya mendapat tweet ini dari @benzbara_ :  iya. rt : kalau kau mencintai seorang penulis, lukai hatinya, ia akan berterimakasih karena dapat ide untuk tulisannya. 210813
And i'm wondering: did i leave scars in your heart? Do you keep writing? Do your writing get better, deeper and touchy? or it's only me who love writing now? because i get hurt? So many big big questions. But most of all, I wish that you keep writing, no matter what -- whether you feel so much in love, get hurt,  ....  just write and I'll be your reader....



August 25th, 2013
10:45 p.m.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Bedak Jerawat



"Udahlah kalo jerawatan tuh jangan dipikirin.Nti juga jerawatnya ilang sendiri kayak gue."


Kakak saya (cowok,tinggi, cakep) pernah bilang begitu ke saya yang waktu itu ribet banget gara-gara jerawat. Dan sekarang, justru kata-kata itu yang jadi pegangan saya selama ini. Tiap kali wajah saya berjerawat, saya tidak terlalu memusingkannya. Hanya membersihkan wajah seperti biasanya, tidak ada perlakuan khusus buat si jerawat.

Sampai beberapa waktu yang lalu teman kerja yang-saya-sayang memberikan saya bedak jerawat sebagai oleh-oleh dari Jawa. Mungkin teman saya itu kasih saya bedak jerawat biar antimainstream gitu ya. Teman saya itu bilang kalau mukanya bersih karena gak pakai produk macam-macam, hanya memakai bedak jerawat ini yang cuma dijual di Jawa. Ia pun menyarankan saya (yang katanya juga gak macam-macam ini) untuk memakai bedak jerawat ini.

                                               


Awalnya saya malas dan juga was-was untuk memakainya. Takut tidak cocok dengan wajah saya, dan takut jerawat jadi tambah parah. Tapi hey, saya teringat kata-kata kakak saya untuk tidak terlalu memikirkan perkara jerawat. Jadi saya coba saja memakai bedak jerawat itu tanpa pusing apakah hasilnya akan baik atau bagaimana. Ternyata setelah memakainya, wajah saya terasa bersih dan kencang. Jerawat jadi bersih? Masih tetap ada, tapi setidaknya saya merasakan wajah saya segar setelah memakainya. Saya bisa rutin memakainya kalau sedang tidak malas.

Buat saya yang suka banyak mikir gak jelas ini-itu, ternyata mencoba sesuatu yang baru itu bisa jadi seru, tanpa pretensi yang macam-macam tentu. Tak usah pusing dengan pemikiran ini itu. Coba saja, dan jalani. Takut hasilnya tidak baik? Setidaknya kita sudah mencoba, dan pasti ada sesuatu yang baik yang bisa dipetik dari tiap apa yang terjadi. Mungkin begitu.

Sekarang saya permisi mau pakai bedak jerawat dulu ya, biar berasa segar. Sampai bertemu! :)


August 24th, 2013
11:46 p.m.


Kamis, 22 Agustus 2013

Earphone

                           



Sudah larut malam dan saya belum berhasil tidur juga. Selain membaca buku, saat susah tidur saya suka mendengarkan siaran radio, atau mendengarkan lagu-lagu. Kali ini saya memilih ditemani oleh earphone yang terhubung dengan handphone saya, memutar satu-satunya lagu yang ada di playlist "don't play". Lagu itu sebenarnya sebisa mungkin saya hindari kalau tidak mau stok tisu cepat habis. Atau setidaknya saya tidak mau mendadak mellow hanya karena sebuah lagu.

Lagu itu terus terputar seiring memori yang sontak menyeruak. Lagu yang lama saya hindari, namun larut malam ini tidak lagi. Saya sengaja memutarnya terus menerus agar saya terbiasa lagi mendengarnya, agar tidak lagi terasa sesak hanya karena sebuah lagu yang pernah saya setel sebagai nada telepon dari dia-yang-sudahlah-tak-usah-disebutkan-namanya.

Awal mendengarnya kembali, tentu saja saya tidak tahan. Berlembar tisu pun bergelimangan di lantai kamar. Tapi saya tak boleh gentar. Maka lagu itu terus terputar dan saya dengarkan. Saat menulis cerita ini pun saya masih mendengarkannya melalui earphone yang melekat di telinga. Entah sudah berapa kali lagu itu terputar, sampai akhirnya rasa sesak saya hilang, malah berganti dengan senyuman dan sedikit tawa melihat tisu di lantai kamar yang basah untuk menyeka airmata, "don't be silly.it's just a song, a beautiful love song."

Setelah mendengarnya berkali-kali, saya merasa biasa-biasa saja kali ini. Seperti layaknya mendengar lagu-lagu yang biasa terputar di radio, atau yang terputar di angkot, tanpa intervensi carut marut perasaan lagi. Memori tetap saja menyeruak seenaknya, tapi kini saya bisa pegang kendali.


Mendengarkan lagu itu kembali menjadi semacam terapi buat saya. Terapi untuk menghadapi apa yang tadinya dihindari. Dengan menghadapi, saya belajar untuk bisa survive, walau masih ada tertinggal rasa sesak. Dengan menghadapi, saya membiasakan diri untuk menilik memori, namun tidak berkutat di memori itu saja, karena ada hari depan yang menanti diukir dengan indah. Dan dengan menghadapi, saya belajar mendengar kata hati tentang apa yang saya ingini: bahagia tentu, dan tak lagi sendu-sendu.



August 23,2013
01:52 am

Paket Kiriman Dari Pasangan Penuh Cinta

Lagi pengin buat tulisan berisi "Thanks to" niih. Yak, biar berasa macam penulis gitu deh. Anyway, kali ini saya mau mengucapkan terima kasih atas kiriman yang saya dapat beberapa hari yang lalu di saat lagi sakit bin panas tinggi. Saya senaaang sekali, maka dari itu akan saya buat sanwacana di sini.


Saya mengucapkan terima kasih buat yang sudah membawa kiriman buat saya, yang bersedia kopernya disesaki buat bawain kiriman saya itu (yak, agak hiperbola juga sik gak sampe jadi sesak juga gegara bawa kiriman itu), trus terima kasih buat yang udah nganterin paketnya ke tempat pengiriman barang, karena kalau gak dikirim yaa gak bakal sampe ke rumah saya, tentunya terima kasih buat segenap yang bekerja di bagian pengiriman barang tersebut (kurir, supir jasa paket pengiriman, dll) untuk menghantarkan kiriman tersebut ke alamat yang tertera yang merupakan tempat kediaman saya, terima kasih juga buat adik sepupu saya yang sudah menerima paketnya dan mengatakan kalau paket tersebut tepat sampai di rumah orang yang dituju, dan pastinya terima kasih buat yang sudah kirimin paket itu, Saya terharuuuu! Iya, saya sih sudah bercerita pada si pengirim apa yang membuat saya terharu. Di dalam paket itu saya tidak menemukan surat (padahal saya ingin sekali dapet surat dengan tjap bibir khas seperti yang pernah ada di buku diary saya *ini serius*), saya malah menemukan dua benda di dalamnya, dan satu benda yang bikin haru membiruu.... Saya dapet celemek, sodara-sodara! Huwaaaa, kapan dong dong bisa dipakenya tuh celemek secara saya masak aja jarang karena hasil masakannya lebih sering gagalnya daripada berhasilnya? :D. Tapi saya suka kok dengan pemberian itu dan dengan begitu, saya jadi terpacu buat bisa masak dan tentunya jadi bisa bergaya bercelemek ria! (hehehe yakin nih ah abis ini mau rajin masak? :D)... Well, celemeknya juga udah dicobain dan pas (yaiyalah kan tinggal diiket-iket) dan lucuu sekali! Sekali lagi terima kasih yaaa... terima kasih semuanyaa!

                               


these are what I've got from "Pasangan Penuh Cinta": kakak kece & babang R! Danke!

*************

Tulisan di atas merupakan repost dari blog saya (dengan editan seperlunya dan ala kadarnya).  Dua benda ini masih turut menghuni kamar saya. Tasnya sudah sempat mencicipi udara segar di pantai saat saya membawanya turut serta dengan penuh baju-baju dan perlengkapan mandi di dalamnya. Selanjutnya ia kembali bersemayam dalam lemari di kamar. Tinggal celemeknya yang belum terkena hawa panas dekat kompor, atau terkena tepung, atau terkena noda-noda dari dapur. Jika bisa berbicara, mungkin celemek ini akan berkata, "Tempatku bukan di kamar. Bawa aku ke dapur."  Namun apa daya, karena pemiliknya ini masih saja malas membawanya ke dapur. Sibuklah, capeklah, hasil masakan gak enaklah, selalu saja jadi alasan buatnya untuk tak kunjung ke dapur dan memasak. Tapi janji, suatu saat nanti celemek ini akan menjalankan perannya di dapur. Janjiii! :)


August 22nd, 2013
11:15 p.m.

Rabu, 21 Agustus 2013

Masker Luar Kota

Benda apa yang terlintas di benakmu sebagai oleh-oleh dari kota Jakarta? Kaos bertuliskan "I ♥ Jakarta" atau kaos bergambar ciri Jakarta, juga gantungan kunci bisa jadi pilihan buat sebagai oleh-oleh. Kalau makanan khasnya saya kurang tahu untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Dan benda apa yang bisa kamu jadikan oleh-oleh dari kota Semarang? Bisa kaos, gantungan kunci, atau makanan khasnya seperti wingko babat dan bandeng presto. Namun saya punya oleh-oleh tersendiri dari dua kota tersebut, dari saya dan untuk saya sendiri, saya mengoleh-olehi diri saya sebuah masker.



Masker-masker ini saya beli di dua kota yang berbeda, Jakarta dan Semarang. Bukanlah suatu benda yang istimewa dan hanya bisa dibeli di dua kota tersebut saja, tapi saya malah kepikiran untuk membelinya saat sedang di Jakarta dan di Semarang. Buat yang belum tahu, saya adalah seorang wanita yang paling tidak tahan dengan debu (juga tidak tahan dimadu tentu *penting*). Untuk melindungi hidung saya dari serangan debu, saya perlu masker, dan saya baru membeli masker saat saya ada di Jakarta (bukan saat saya ada di kota saya), untuk masker yang kedua saya membelinya di Semarang.

Masker yang saya beli di Jakarta bergambar tazmanian devil. Sebenarnya saya mengincar warna hijaunya dan kalau tidak salah hanya ada dua pilihan warna hijau, saya memilih yang bergambar tazmanian ini. Saya membeli masker di Jakarta karena saat itu tengah kemarau dan tahu sendiri bagaimana polusi di Jakarta dan debu dimana-mana. Maka saya pun membelinya, dan membawanya pulang sebagai oleh-oleh buat saya.

Di kesempatan liburan yang lain, saya mengunjungi adik saya di Semarang. Di sana ternyata cuacanya sangatlah panas di kala siang, namun berangsur menjadi dingin kala malam tiba. Berada di kota yang lain membuat saya sering bepergian kemana-mana sekalipun saat hari sedang teriknya. Ketika itu saya berada di pasar Johar untuk mencari tas-tas bekas namun masih layak dipakai. Saya melihat ada banyak sekali jualan masker di pinggir jalan, saya pun tergerak untuk membelinya. Cuaca di Semarang yang panas, juga banyak debu di jalanan membuat saya perlu membelinya, dan tentu saya pilihan saya jatuh pada masker hijau polos.

Sekarang saya memiliki dua buah masker, oleh-oleh dari Jakarta dan Semarang. Di sini saya malah jarang memakainya di luar rumah. Saya malah kerap memakai masker saat di dalam rumah, saat sedang menyapu atau membersihkan debu-debu di rumah. Melihat dua masker ini selalu mengingatkan saya ke dua kota yang pernah saya kunjungi. Sekaligus juga mengingatkan saya dengan yang menemani saya saat membelinya, yang pertama dengan dia-yang-sudahlah-tak-usah-disebutkan-namanya :'), dan yang kedua dengan saya sendiri saja.


August 21st, 2013
11:05 p.m.

Selasa, 20 Agustus 2013

Buku Novel Biru

Saya bukanlah orang yang bisa berlama-lama dalam keadaan terjaga di dalam kamar. Mau ngantuk atau tidak, biasanya kalau sudah di kamar saya hanya perlu waktu paling lama setengah jam untuk berangkat ke alam tidur. Namun ada kalanya saya bisa bertahan terjaga di kamar, biasanya karena sudah kelamaan tidur sebelumnya. Kalau sedang belum ngantuk begitu, saya akan mencari earphone, biasanya menyetel radio agar berasa ditemani, atau mendengar lagu-lagu, juga saya akan membawa buku ke kamar. Membaca beberapa halaman, lalu lantas lama-lama tertidur, dan kali ini giliran buku novel Biru yang akan mengiringi tidur.


Novel Biru karya Fira Basuki, senang bisa bertemu kembali. Pertama kali saya bertemu novel ini di tahun 2010 saat sedang PPL di sekolah. Saat itu saya sedang kebagian tugas jaga perpustakaan (rasanya pengin tiap hari saja bertugas di perpustakaan). Saya pun langsung menyisir buku-buku di sana dan menemukan novel ini. Setelah sedikit membaca acak, saya memutuskan untuk meminjamnya, dan bergantian membaca dengan teman saya yang meminjam Rojak. Saya menyukai cara Fira Basuki bercerita lewat tulisannya, tidak ribet dan mengalir, juga meninggalkan kesan saat selesai membacanya. Fira juga mempunyai khas dengan memasukkan unsur-unsur budaya (terutama budaya Jawa) dalam ceritanya. membuat saya selalu ingat akan karyanya yang menarik, penuh intrik, dan juga terdapat twist di ceritanya, saya pun jadi tertarik dengan karya-karyanya yang lain, walau sedikit kesulitan untuk mendapatkannya karena buku-buku lamanya sudah jarang beredar di toko buku.

Sekarang novel Biru ada di kamar, berhasil saya dapatkan setelah mendapat info dari tweet Fira Basuki tentang  stok buku ini di salah satu toko buku online. Bukunya sudah tidak baru lagi, namun masih dalam kondisi yang bagus. Sudah hampir sebulan saya memilikinya dan berniat membacanya lagi, tapi belum sempat. Hari ini saya belum ngantuk, maka saya akan membacanya lagi. Oh ya, saya sebenarnya juga mencari novel dwilogi Astral Astria & Paris Pandora. Penasaran setelah lihat ulasan-ulasan yang beragam di media sosial. Sebenarnya saya tertarik untuk membaca karya-karya Fira Basuki ini. Di toko buku tersedia buku-bukunya yang lain, seperti trilogi Jendela-Pintu-Atap (dengan cover baru), 140 Karakter (saya membaca beberapa cerita di toko buku tersebut..hehe), dan yang terbaru Fira dan Hafez. Namun saya masih tertarik untuk mendapatkan buku novel dwilogi  Astral Astria & Paris Pandoranya daripada buku-buku yang masih tersedia di toko buku. Terkadang apa yang nampak dan mudah didapat menjadi kurang menarik lagi, malah mencari-cari yang susah didapat, Mungkin saat berhasil mendapatkan yang susah didapat, akan meninggalkan kesan yang lain dan mendalam. Mungkin begitu.


August 20, 2013
11:11 p.m.


Senin, 19 Agustus 2013

Sepasang Sepatu Baru

Seharusnya sepasang sepatu ini tidak bersembunyi di kolong tempat tidur, seharusnya ia berjajar dengan teman-temannya di rak sepatu yang terletak di depan. Namun karena statusnya yang baru membuat saya sayang untuk memakainya. Terlebih, sepatu ini juga sepatu incaran saya sejak lama.

Sabtu kemarin akhirnya saya kesampaian juga membeli sepatu ini. Harganya yang lumayan mahal membuat saya butuh waktu dan butuh pikir-pikir-bolak-balik dulu untuk akhirnya memutuskan membawanya pulang ke rumah. Oh ya, saya juga menimbang suatu benda itu mahal atau tidak dengan pendekatan buku. Begini, setiap akan membeli sesuatu saya akan menghitungnya dengan cara, "kalau uang saya segitu, bisa dapet buku berapa banyak ya?" Nah untuk sepatu ini kira-kira saya bisa dapat 4-5buku. Lumayan, kan! Tapi karena saya butuh sepatu, jadi saya harus mendahulukan apa yang menjadi prioritas.

Untuk membeli sepatu ini, saya tentunya harus mengumpulkan uang dulu. Juga survey ke tempat-tempat lainnya siapa tahu ada yang lebih bagus & murah. Namun sepatu ini sudah memikat saya dari awal. Saat uang saya sudah terkumpul, saya pun segera ke mall tempat sepatu ini menginap. Saya pergi bersama sahabat saya. Saat saya mau membeli, sahabat saya bilang kalau lebih baik membelinya saat weekend karena biasanya ada diskon. Saya pun jadi gamang. Saya sudah sangat ingin memilikinya, tapi lumayan juga jika mendapat potongan harga dengan menunggu hari berikutnya. Akhirnya saya urung membeli sepatu itu.

Saat weekend tiba saya kembali pergi ke mall, mengincar sepatu itu. Kali ini saya ditemani mami. Saya pun bilang kalau mau membeli sepatu yang saya inginkan sejak lama. Setibanya di sana, saya menunjukkan sepatu itu. "Jadi ini sepatu yang kamu pengen?" Begitu mami bilang.

Ke tempat perbelanjaan & berbelanja di weekend ternyata butuh tenaga & kesabaran ekstra.  Pengunjung ramai dan pramuniaganya pada sibuk mencarikan nomor sepatu. Oh ya, benar ternyata kata sahabat kalau weekend suka ada diskon. Dan sepatu itu juga ada diskonnya. Horee! Tapi jangan senang dulu. Belum tentu nomor sepatu yang sesuai dengan kaki masih ada. Duh, jadi ketar-ketir. Saya pun meminta dicarikan sesuai nomor sepatu saya. Sambil menunggu, saya melihat-lihat sepatu lainnya. Siapa tahu nomornya tidak ada . Rasanya ada yang mengganjal kalau saya tidak berhasil mendapatkan sepatu yang memikat saya itu. Ah, semoga ada, ada, adaa.

Setelah sibuk melihat-lihat dan membenak, seorang pramuniaga datang membawa kotak sepatu. Ternyata nomor ukuran saya ada! Horee! Setelah mencobanya dan pas di kaki dan nyaman dipakai, saya pun langsung membelinya dengan keputusan bulat walau setelah membayar dipastikan isi dompet saya langsung menipis :D


Note: menjadi kesenangan tersendiri saat bisa mendapatkan yang diinginkan setelah melewati proses yang panjang -- mengumpulkan uang, menunggu , bersabar, memperhitungkan semuanya, sampai akhirnya apa yang diinginkan tercapai. Semua butuh proses, tidak hanya berlaku buat mendapatkan sepasang sepatu, tapi untuk semuanya. Apalagi untuk mendapatkan pasangan hidup ya..#laaah :). Jalani setiap prosesnya, baik-buruk-suka-duka, jalani dengan sebaik-baiknya, dan nikmati setiap prosesnya.


August 19, 2013
11:05 p.m.


Minggu, 18 Agustus 2013

Kartu Undangan

Kartu undangan itu tergeletak begitu saja di kasur. Undangan buat mami di tanggal 18 Augustus 2013, sebelum menyingkirkannya saya membacanya karena tergeletak di kasur, tempat buat tidur. Di tanggal yang sama saya jauh-jauh hari sudah bikin janji sama teman SMP saya untuk ketemuan, reunian kecil-kecilan dibilang, karena kami yang dari sekitar tiga belas tahun yang lalu (wiw, lama juga yak), masih tetap berbadan kecil dan mungil dan kami hanya jalan berdua saja. Saya pun janjian untuk bertemu di toko buku pukul 10.30. Setelah janjian dengan teman diatur dan teman saya pun mengiyakan, saya baru kepikiran kalau ada undangan buat mami, dan pastinya mami akan mengajak saya. Tapi mami belum bilang ke saya. Mungkin dia sudah janjian dengan kawannya. Tak lama kemudian, mami baru ingat kalau ada kondangan dan langsung minta ditemani saya. Nah kan, saya udah ada acara dari jauh-jauh hari pula. Saya pun kembali mengambil undangan yang tadi disingkirkan, melihat kapan acaranya dimulai, dan dimulai pukul 10.00. Akhirnya, saya mengundur waktu janjian saya satu setengah jam, jadi setelah menemani mami kondangan, saya langsung menemui teman saya itu.

Tadi pagi saya bangun kesiangan, padahal masih harus mencuci baju yang sudah menggunung. Kalau tidak dicuci hari ini bakal merusak siklus busana kerja di seminggu ke depan, maka begitu bangun saya langsung mencuci baju. Setelahnya, saya mandi dan siap-siap untuk kondangan. Mami tinggal mengganti baju dinasnya dengan baju kondangan dan siap untuk kondangan. Melihat mami yang sudah lebih siap dari saya, saya pun jadi buru-buru, tidak sempat makan dulu padahal habis mengurusi cucian baju. Tapi saya pikir nanti toh di tempat kondangan akan makan. Akhirnya, saya dan mami berangkat kondangan pukul 11 dengan asumsi acara pasti sudah dimulai dan tinggal makan siang, lantas pulang.

Sesampainya di tempat kondangan, ternyata oh ternyata acaranya baru dimulai. Masih ada rangkaian acara yang harus dilewatkan. Sementara pada tahu kan, saya lapar bukan kepalang! Terlebih, saya sudah ada janji dengan teman saya. Saya merasa tidak enak kalau memundurkan lagi jadwal ketemuannya, dan ternyata teman saya sudah di jalan menuju tempat bertemu. Saya masih berharap rangkaian acara yang tertera di kartu undangan dimulai pukul 10 bisa dipercepat saja, atau bahkan dilewati. Tapi rangkaian acara itu bukalah tayangan di DvD yang bisa saya kendalikan dengan remote control. Waktu pun akhirnya tiba di pukul 11.30. Saya pun berhitung perjalanan menuju ke toko buku itu sekitar 20 menit. Akhirnya saya bilang ke mami kalau harus pergi sekarang karena saya tidak mau membuat teman saya lama menunggu. Saat rangkaian acara memasuki ke ceramah, saya beranjak pergi, setengah berlari, berlari dengan perut yang lapar. Oh ya, saya tadi di tempat kondangan duduk di dekat pondokan pempek dan tekwan. Bau tekwannya  tentu sudah semerbak tercium, dan saya lapar, dan saya harus meninggalkan tempat itu sebelum waktunya makan.

 Saat saya sudah menaiki bus trans, teman saya mengirim sms mengatakan kalau dia sudah sampai. Jam di handphone saya menunjukkan pukul 12:05. Yah, saya terlambat! Tapi saya sudah dekat dengan tempat tujuan, jadi setidaknya teman saya tidak menunggu lama. Sesampainya di toko buku, saya berkeliling dulu, siapa tahu saya bisa menemukan teman saya itu tanpa petunjuk di sisi mana dia berada. Perut saya apa kabar? Tentunya masih meronta minta diisi makanan, tapi malah mata saya yang saya manjakan dengan melihat-lihat buku. Saya tak kunjung bertemu teman saya itu. Baru kemudian saya menanyakan dimana dia berada, dan barulah kami bertemu. Setelah berjalan-jalan lagi *dengan-perut-yang-tahu-sendiri-dong-ya-dari-pagi-habis-mencuci-dan-lari-lari-belum-makan-itu-gimana-rasanya*, teman saya bertanya akan kemana lagi. Sebelum saya pingsan, saya cepat menjawab, "ke tempat makan, yuk!"

Pelajaran hidup hari ini : sebelum kondangan harus sudah makan dulu karena sekalipun di undangan yang tersebar tertera acara dimulai pukul berapa, tapi belum tentu akan dimulai pukul itu juga. Jadi, jangan coba-coba seperti saya ini kalau tidak mau semaput yaa! ;)


Note : sepulang dari saya pergi dengan teman saya ini, saya kepikiran untuk menulis cerita ini. Ketika saya mencari kartu undangannya untuk difoto, ternyata kartu undangannya sudah masuk kotak sampah . Malang sekali nasibnya yah.. :( Begitu sampai rumah mami pun langsung bertanya, "jadi, kamu makan apa,mbak?" || "Makan nasi goreng,mi. Ditraktir pula." Dan saya pun bisa tersenyum penuh syukur, sehabis kelaparan, pas makan berasa nikmat, perut kembali full , uang gak berkurang cuma buat ongkos doang, dan.... bisa terhubung lagi dengan teman lama. :) Eh, ini saya sambil ngetik tercium bau pempek niih! Mami goreng pempek ternyata! Makan dulu yaaa~~~


unggah foto pempek aja yaaah.. nyam..nyaam


August 18, 2013
21:10 p.m.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Cerita Spesial Detektif Conan




Ketika melihat komik ini berjajar di  di sebuah toko buku, saya tergerak untuk mengambilnya. Awalnya saya tidak terlalu melihat label "Romantic Selection", hanya tergiur melihat cover bukunya yang berwarna jingga dan fokus melihat gambar Ran memegang sekotak cokelat dengan pipi yang bersemu jingga pula. Saat itu saya tak lantas membelinya, sampai di kunjungan kedua saya ke toko buku tersebut untuk membeli komik itu saat sedang diskon 20%, saya tidak lagi menemuinya di tempat terakhir saya melihatnya. Pun saat mencari dari komputer informasi juga tidak ada. Akhirnya saya bertanya ke pramuniaga toko, dan ia menjawab kalau stoknya sedang kosong. Saya pun pulang dengan kosong, sedikit kecewa mengapa tidak saat di pertemuan itu saja saya membelinya. Tapi saya masih bisa mencarinya lewat online, masih ada harapan. Selang beberapa hari, saya tidak mengunjungi toko online, saya seperti terlupakan dengan keinginan saya untuk memiliki komik ini, sampai saat saya kembali lagi ke toko buku itu, saya kembali menemui komik ini, tidak lagi di deretan rak pojok bawah, sudah berpindah ke rak display di sayap kanan yang lebih terlihat orang. Saya pun tak ragu mengambilnya, membawanya ke kasir agar saya bisa membawanya pulang.

Saya suka dan mengikuti serial komik detektif conan. Yang membuat saya suka dengan komik Conan karena saya menyukai tokoh Sinichi yang tampan,cerdas, dan tegas.Saya juga menyukai Ran yang jago karate, terkesan kuat namun sebenarnya rapuh. Teman saya suka berkomentar kalau membaca Conan terkadang bikin pusing dan susah untuk mengerti analisis kasusnya, saya pun juga sering mendapati kasus yang saya tidak mengerti sekalipun sudah dijelaskan bagaimana analisisnya, namun saya tidak ambil pusing. Saya menikmati membacanya dan sangat terkagum-kagum dengan Aoyama Gosho, penulis Conan, dengan segala kasus dan analisisnya di komik. Tak hanya melulu soal kasus dan perkara kriminal, Aoyama juga acap kali menyisipkan kasus percintaan, juga hubungan percintaan antara tokoh-tokohnya, seperti yang terkumpul dalam cerita spesial Romantic Selection ini.

Bicara soal cinta memang tak ada habis-habisnya. Dan hal-hal berbau romantis tentunya menjadi bumbu yang manis dalam cerita, sekalipun tema besarnya bukan tentang cinta, namun sisipan cerita cinta di serial ini membuat saya semakin suka membaca Conan. Oh ya, saya juga memang suka membaca segala hal yang berbau romantis :D. Rasanya tiap orang juga suka yaa sama yang romantis-romantis. Dan saat membaca atau melihat atau mendengar hal-hal romantis itu terkadang kita juga jadi berharap untuk mendapatkan hal-hal juga perlakuan yang romantis. Apakah cerita yang terkumpul di buku ini romantis? Hhhm, saya mau bicara sedikit saja. Ada salah satu cerita dimana Sinichi diduga Ran berselingkuh dengan seorang wanita yang mencarinya ke Detektif Kogoro (ayahnya Ran) dan berkata kalau Sinichi itu kekasihnya. Lantas di akhir cerita, Sinichi (yang terperangkap dalam tubuh kecilnya dan menjadi Conan) hanya muncul sebentar menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sebentar saja ia datang, lalu menghilang. Lantas dimana letak romantisnya? Saya rasa romantis itu terletak di sudut pandang kita. Romantis menurut si A belum tentu sama dengan romantis versi si B, dan seterusnya. Namun buat saya, berada dekat dengan orang yang disayang itu juga sudah romantis, tak melulu raga yang berdekatan, namun hati yang saling tertaut dalam doa-doa yang tersambut, sekalipun hanya sunyi yang terdengar dan diam yang terlontar, itu romantis sekali.

kalo yang bagian ini romantis tragis. "jleb" sama sub judulnya: bersimpangan 


Catatan : Nah, Conan yang penuh kasus-kasus aja punya cerita spesial perihal cinta. Lah kamu, Ta, yang anak baik dan manis gak ada cerita cinta yang romancis,nih? *self-talking*kemudian berjingkat-jingkat lantas sign out* :D


August 17, 2013
10:59 p.m.

Jumat, 16 Agustus 2013

Buku Catatan Gadis Penjual Pulsa



Buku kecil ini terselip di tumpukan rak kecil di kamar. Sudah tak terpakai lagi karena isinya sudah penuh dengan catatan jualan pulsa. Saat membukanya, sontak pikiran saya penuh tentang seseorang yang dulu rajin jadi pembeli pulsa yang setia : dia-yang-pernah-saya-suka-bertahun-tahun-lamanya.

 Dari buku ini tercatat kalau saya sudah berjualan pulsa dua tahun lamanya. Mungkin malah lebih lama mengingat buku kecil ini adalah buku catatan pulsa jilid dua, yang pertama pun sudah penuh dan entah ada dimana. Dari buku ini juga tercatat namanya yang sering sekali beli pulsa dan saat itu dia yang paling sering menghabiskan saldo pulsa saya. Saya lupa awal mulanya bagaimana saya dan dia bisa terhubung kembali melalui jual-beli pulsa ini, tapi yang jelas saya bersyukur dan senang sekali bisa berhubungan lagi dengannya, bisa membantunya, dan bisa bersikap netral dengannya, tidak lagi ada perasaan suka sampai salah tingkah sendiri seperti yang dulu terjadi.

Saya suka pada dia yang saya juluki Mr. Smile karena dia suka tersenyum, saya paling suka melihat senyumannya, walau jelas bukan saya alasan di balik senyumnya. Dia yang pintar, yang suka maju mendapatkan penghargaan ini-itu saat upacara bendera di sekolah. Dia yang tentunya tampan, si Prince Charming, dan dia yang entahlah bagaimana lagi bisa membuat saya suka akannya. Saya dan dia pernah berada di satu sekolah yang sama, dan kemudian terpisah sekolahnya. Saya pun terobsesi untuk bisa kembali satu sekolah lagi dengannya, tapi sayang saya gagal tercatat menjadi salah satu siswa di tempatnya bersekolah. Namun saat kuliah, saya dan dia kembali bertemu di satu almamater yang sama, walau berbeda fakultas dan dia sempat mendaftar di universitas yang ada di luar kota, tapi sepertinya semesta membawanya untuk tetap di sini saja. 

Saat masa sekolah, ini saat saya susah mengontrol rasa suka saya. Tidak heboh gimana-gimana juga sih, tapi kalau diingat-ingat ya cukup bikin senyum-senyum juga karena konyolnya saya :D. Dulu kerjaan saya suka nelponin dia pake telepon rumah atau dari wartel dan suka bingung mau ngomong apa. Tenggorokan terasa kayak tercekik pas ngomong sama dia, tapi udahnya saya bisa senyum-senyum sendiri. Gila,yaaa? :D . Saya juga pernah menelusuri alamat rumahnya (bersama teman-teman yang juga saat itu istilahnya nge-fans sama dia :D) yang ternyata gak jauh dari rumah saya (ampuun, semesta mendukung bangetlah pokoknya). Liat rumahnya aja berasa kayak lebaran terus dapet THR banyak, seneng bangeeet! Tapi pas ketemu, atau berpapasan dengan orangnya, seketika saya bisa lemes dan langsung keringat dingin. Mesti selalu begitu. Pernah suatu waktu jaman sekolah, saya lagi iseng menulis tentang dia, lantas ada yang mengetuk pintu, dan ternyata dia yang datang! Seolah tulisan saya memanggil dia dan saat itu tentu saya langsung grogi, salah tingkah, panas-dingin, berasa mau kabur saja tapi ingin menatapnya. Kemudian baru saya tahu ternyata dia mengenal kakak saya. Duh, dunia ini sempit ya. Saat jamannya pakai hape, malah saya tidak intens menghubunginya. Hanya di momen-momen tertentu saja dan saat hari ulangtahunnya saya rutin memberikan ucapan. Biar begitu rasa suka saya masih tertuju padanya, sampai saya jadi mahasiswa tingkat awal.


**********

"Hey gadis penjual pulsa. Kirim pulsa ke no. gw dong. Thanks" Begitu biasanya isi sms-nya. Atau kalau dia kehabisan pulsa, dia menelepon saya dari telepon kantornya. Ya, memang hubungan saya dan dia hanya terkait tentang pulsa, tidak ada yang lain-lainnya. Saya benar-benar jadi gadis penjual pulsa buatnya, dan dia menjadi pelanggan setia saya. Seharusnya ada lagi panggilan dia buat saya : gadis pemuja rahasia. Ya, walaupun saya suka dengannya bertahun-tahun lamanya tapi saya tidak menunjukkannya. Walau mungkin saya suka salah tingkah di depannya . Gak tahu kenapa saat dulu tiap bertemu dengannya bawaannya saya jadi panas dingin, mendadak merasa jadi jelek banget kalau di depannya. Tapi tentu sekarang sudah tidak lagi begitu. Lucu yaa kalau mengingat bagaimana dulu saya suka banget sama dia, seolah fokus saya hanya ke dia, tapi sekarang tidak lagi. Dulu saya sering menghubunginya agar tahu perkembangan kehidupannya, tapi kini dia yang sering menghubungi dan membutuhkan (kiriman pulsa) saya. Dulu saya yang sering membayangkan bisa kedatangan dia, di saat dia membayar pulsa maka dia akan ke rumah saya walau hanya sebatas di ambang pintu saja, dan saya bisa menatapnya dengan perasaan yang netral, tidak ada lagi grogi, panas-dingin, dan sebagainya. Dan saya merasa lebih nyaman saat saya berhenti menyukainya dan pensiun menjadi pemuja rahasianya. 

Buku kecil ini telah penuh dengan catatan-catatan pulsa dan saya telah menggantinya dengan yang baru. Di buku yang baru tidak ada lagi tertera namanya. Dia tidak lagi jadi pelanggan setia saya. Mungkin dia sekarang sudah isi saldo sendiri mengingat saat itu juga dia kerap suka bertanya-tanya dimana saya biasanya isi saldo pulsa dan dimana tempat yang murah, di Fans Celullar saya memberitahunya. Mungkin dia juga sekarang jadi pria penjual pulsa :D. Sekarang dengan tidak adanya transaksi jual-beli pulsa, maka sontak tidak ada komunikasi. Namun kini, yang jelas saya bisa mengatasi perasaan saya, dan menjadikannya sebagai teman saya. Saya malah pernah sekali curhat padanya dan ternyata dia menanggapinya dengan baik. Saat saya berduka, dia datang dan ikut berbela sungkawa. Dia memang pribadi yang baik dan menghargai orang. Senang bisa berteman dengan dia yang baik dan keren (dan tampan bonusnya). Itu saja.

August 16th, 2013
11:45 p.m.

 

Sample text

Sample Text