Social Icons

Pages

Rabu, 20 November 2013

One Fine Day (not-in-Leiden-but) in Setu

One fine day in Setu-- slept with the bride in the same bedroom, but different bed...


Sebenarnya ini bukan kali pertama saya tidur menemani mempelai wanita sebelum hari pernikahannya. Saat masih kecil saya dan adik saya sering sekali diminta menemani tante menjelang pernikahannya di esok harinya. Menjadi lucu karena pernah kami menemani untuk tidur di hotel, sementara rumah kami saja jaraknya dekat dengan hotel itu. 'Gegayaan' kalau kata kakak-kakak saya atau om saya saat itu, "rumah deket aja pake acara nginep di hotel". Mungkin mereka sirik akan kesempatan yang didapat oleh saya dan adik saya saat itu. Atau juga saat menemani seorang sahabat yang akan menjalani kehidupan baru sebagai seorang istri. Maka sebelum esok mengikat janji, saya dan sahabat lainnya akan berkumpul di rumah mempelai wanita : mengobrol, membuat rusuh, banyak makan, ngobrol, istirahat tidur, namun bukannya tidur malah lantas ngobrol lagi... begitulah. (oh ya, juga tak lupa menggoda-goda mempelai wanita). Banyak sekali cerita yang didapat dari menemani mempelai wanita ini, dan ada satu cerita yang ingin saya bagi di sini.

Mungkin cerita ini adalah cerita yang biasa-biasa saja. Tapi bolehlah ya saya cerita, sekaligus mencoba mengetes sejauh mana daya ingat saya merekam peristiwa (lagian ini blog siapa? blog siapa hayoo siapa? :)). Kejadiannya terjadi kurang lebih dua tahun lalu, di mana saya terlempar ke suatu momen terpenting bagi seorang wanita cantik menyenangkan asal Setu yang akan dipersunting oleh pria yang (tentunya) mngidam-idamkannya dan menjadi idaman hatinya. Lantas sebelum esok dua orang yang saling mengidam itu dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan, wanita cantik menyenangkan itu pun harus melewati malam terlebih dahulu dan berbagi kamar dengan seorang perempuan kecil yang berhati besar. Tak banyak yang dilakukan untuk menghabiskan malam. Sekadar untuk mengingat, sore hari saat sang perempuan bertemu dengan wanita itu setelah sang perempuan ikut berburu empat boneka sapi (tak tahulah untuk apa saat itu) dan sang wanita baru pulang dari salon dan pusat perbelanjaan, menenteng-nenteng kipas hasil belanjanya dengan tangan yang kuku-kukunya sudah berhias kuteks. Kalau boleh menyampaikan, sebenarnya saat itu sang perempuan heran melihat sang wanita yang besoknya akan menjadi pengantin ini malah sibuk keluar-keluar, tak ada pingitan. Oh ya, saat itu juga merupakan kali pertama untuk sang perempuan mengenal sang wanita secara langsung, lantas bagaimana kesannya? Rasanya tak bisa dijabarkan di sini karena takut jatuhnya korban menjadi-jadi (korban apa? jadi apa? ya gitu deh yaa biar drama aja). Tapi hey, bolehlah bayangkan kapan kejadian ini terjadi, kapan coba.... dan ternyata, saya masih bisa mengingatnya. Berkesan, pastinya.

Saat malam tiba, setelah mengobrol sebentar, akhirnya sang perempuan dan sang wanita itu masuk kamar juga. Sang perempuan yang sudah lelah karena sebelumnya menempuh perjalanan jauh dan khawatir kesiangan bangun saat esok harinya, cepat sekali tertidur setelah sebelumnya sang wanita sibuk mengusung kipas angin dan juga kemudian terlibat dalam pembicaraan telepon dengan bahasa yang tidak dimengerti sang perempuan. Lantas, berangkatlah sang perempuan ke alam tidur tanpa mimpi apapun, namun hari itu menjadi salah satu hari terbaiknya dalam tidur dan bangun: karena ia (entah bagaimana caranya) berhasil tidak membuat pulau-pulau di bantal atau kasur dan berhasil bangun cukup pagi, sekitar pukul empat subuh dan rumah di Setu sudah gaduh! :D Adalah sang wanita yang akan dipersunting itu yang sudah bangun bahkan dari dini hari. (Si perempuan sempat 'ngelilir' saat sang wanita bangun dan turun ke ruang bawah, sementara si perempuan masih ingin tertidur seribu tahun lagi). Lantas saat fajar mulai menyapa walau belum terlihat sinarnya, si perempuan bangun dan mendapati sang wanita tengah sibuk memakai ........ rrrr, tak usahlah disebutkan di sini, yaa :D, yang jelas ia sibuk mencoba berbagai perlengkapan tempur untuk menjadi ratu dalam sehari, ratu dari Setu. Dan ketika subuh datang bersamaan dengan datangnya perias pengantin, maka sempurnalah sudah jalan sang wanita untuk menjadi ratu Setu, dan tentu menyusul sang rajanya yang datang saat sang wanita tengah didandan dan disasak rambutnya :D.


Begitulah kisah pada suatu waktu di Setu. Biasa saja ya? (Kan tadi sudah diperingatin sebelumnya kalau biasa-biasa ajaa). Namun yang jelas, hari itu menjadi hari yang tidak biasa untuk dua orang yang saling cinta mengikat janji pernikahan :  untuk saling mencinta, saling berbagi, saling berdampingan, dan saling-saling yang menyenangkan lainnya. Kala itu akad nikah berjalan lancar, begitupun resepsi pernikahannya: lancar dan menyenangkan karena banyak makanan :D. Oh ya, di acara resepsi pernikahannya juga ada pelemparan boneka (lantas kemudian tahu apa guna mencari-cari boneka-sapi-tapi-tidak-dapat-maafkan-jadinya-boneka-beruang. jadii, bonekanya buat dilempar-lempar, gitu?) dan dari pelemparan boneka itu yang mendapatkan diganjar hadiah tertentu. Setelah acara resepsi, si perempuan menghabiskan sore bersama dan terlibat dalam obrolan ringan yang menyenangkan, juga terselip canda tawa. Begitulah hari yang menyenangkan itu, yang terjadi dua tahun lalu, dan demi mengingatnya, saya pun ikut terbawa kesenangannya, juga rindu. Tak mengertilah mengapa bisa rindu dengan seseorang yang baru sekali ditemui  (mungkin karena sang wanita pribadi yang seru (pakai tanda seru!) pun sang prianya. Kalau baby-nya gimana yaa?). Padahal mungkin, bisa jadi  malah bingung sendiri saat punya kesempatan untuk bertemu.

Dan whuuuuus... tibalah kini di penghujung cerita. Maka, jika kini sang wanita  punya One Fine Day in Leiden yang siap beredar di toko buku kesayangan, maka sang perempuan punya One Fine Day in Setu yang siap publish di blognya :D. Salam.


*Ditulis untuk (turut) merayakan ulang tahun pernikahan sang wanita dan sang pria yang dipenuhi cinta :D*



20 November 2013
23:57 WIB

Senin, 18 November 2013

Cuma Satu Nama

Memang cuma satu nama
yang kunanti di ujung hari
Nama itu tak biasa
manusia luar biasa
Memang cuma satu rasa
yang berarti di ujung hari
Rasa itu tak hentinya
Lebur kita menjadi satu
Cinta jadikan dia
Segala tentangnya istimewa
Cinta jadikan kita
sepasang raja ratu
persatukan janji hari ini
Kau bukan tak bercela
tapi cinta jadikan kita berdua
luar biasa dan sempurna
tuk bersama kini dan…..
Ku bukan tak bercela
Tapi cinta jadikan kita berdua
luar biasa dan sempurna
tuk bersama kini dan selamanya
Memang cuma satu nama


                       


*Cuma Satu Nama -- Dewi Lestari feat her hubby, Reza Gunawan*

Note : Yak..lagu baru..lagu baru..masih anget..masih anget! Setelah nguping di acara radio beberapa kesempatan yang lalu, akhirnya nih lagu publish jugaa! Setelah cuma bisa nyenandungin "memang cuma satu nama..." sekarang udah bisa nyenandungin secara utuh. Hihihi siap-siap aja yaa denger saya menghancurkan lagu ini lewat suara saya! :D Oh memang cuma satu nama........ rese' banget deh nih lirik bikin lubuk terdalam terusik! Jadi, siapa satu namanya? Well, well, sepropokatif-propokatifnya Dee bikin lirik, tetep aja saya berpegang kukuh sama madam Vermouth di detektif Conan yang bilang : a secret makes a woman woman. ((Lah, ini ngapa nyasar-nyasar ke Conan, yaa?)) Yah, gitu deh pokoknya. Dengerin aja lagunya yaa! Ini note-nya anggurin aja.  Selamat mengukir satu nama di dalam lubuk jiwa!
Salam.


'G'


18 November 2013
21:32



Minggu, 17 November 2013

Kisah Wanita Penenteng Helm dan Pria Gandengannya (?)

"Git, jadi mana gandengannya?"

Uhuk. Saya mau tersedak demi mendengar pertanyaan itu. Apa katanya? Gandengan? Sepertinya makin banyak saja yang termakan iklan yang berseliweran di televisi, "truk aja gandengan, masa kamu enggak?" Pertanyaan itu dilontarkan begitu saja oleh seorang teman saat tadi menghadiri kondangan teman mengajar. Sebenarnya tadi kami datang bersama-sama setelah janjian kumpul dulu sebelum menuju ke tempat kondangan, dan untuk menuju ke tempat kumpul itu, saya menempuhnya dengan naik angkot sendirian. Eh, tidak sendirian juga sih, kan ada penumpang lainnya dan tentu supir angkot. Kemudian kembali lagi ke pertanyaan teman saya itu. Apa pasalnya ia bertanya seperti itu? Apa karena saya datang sendirian sementara ada teman saya yang membawa pria yang akan menjadi suaminya bulan depan? Apa karena di acara kondangan bisa dijadikan momen yang pas untuk membawa gandengan? Saat saya sibuk menerka-nerka apa motif pertanyaannya, teman saya pun melanjutkan, " Aku sering liat kamu loh bawa-bawa helm trus nunggu gitu. Trus mana, kok gak diajakin gandengannya?"  Oh, jadi begitu. Teman saya itu sering melihat saya menenteng helm di pinggir jalan seberang rumah di pagi hari saat berangkat kerja. Ya, saya memang menunggu seseorang yang baik hati yang suka menebengi saya. Lalu saya pun mejawab, "Yah mbak. Orangnya juga lagi melanglang buana, tuh." Maka pertanyaan pun kembali berdatangan, disusul dengan jawaban yang dilayangkan atas sebuah pertanyaan:
"Oh. Jadinya kapan?"
"Kapan apanya?"
"Kapan ngundangnya?"
 "Lah, aku nanti ngundangnya sama sapa mbak?"
"Yah itu sama gandenganmu itu..."
"Maksudnya sama yang suka nebengin aku itu. Kan dia cewek, mbak. Masa jeruk makan jeruk."
"Lah, masa cewek sih? Kok kayaknya cowok."
"Cewek, mbaak......."

Begitulah. Percakapan di kondangan itu membuat saya geli sendiri. Tidak, saya tidak pernah (atau belum mungkin) merasa terganggu dengan pertanyaan seputar "jadi kapan bisa kondangan di pernikahanmu?", dan tak banyak juga kok yang  sekadar iseng atau sibuk menanyakannya pada saya. Yang membuat saya geli adalah asumsi teman saya itu yang suka melihat saya menenteng helm di pinggir jalan itu berarti saya punya gandengan, saya tengah menanti gandengan saya. Gitu?  :D Dan saya pun berpikiran pasti teman saya ini melihatnya dari belakang, sehingga menganggap seseorang yang memberi tebengan itu pria. Oh ya, memang saya akui jika dari belakang mungkin saja akan terlihat seperti laki-laki, karena yang suka berangkat kerja bareng saya dan memberikan tumpangan itu hampir selalu memakai jaket dan tas punggung besar, kepalanya tertutup helm sehingga jilbabnya tak kelihatan. Besok-besok sepertinya saya perlu memintanya untuk memakai sesuatu yang menandakan kalau ia perempuan saat yang terlihat hanya belakangnya saja. Haha dasar penebeng yang merepotkan!


Ini bukan kali pertama saya dianggap sedang menanti "gandengan" di ujung jalan dengan tangan menenteng helm. Sebelumnya, pernah ada tante jauh saya yang saat ke rumah menggoda saya, bahkan mengatakannya langsung ke ibu saya, "itu mbak Gita suka nunggu siapa tuh pagi-pagi. Tante suka liat, loh." Saya pun menjawab pendek, "nunggu teman, te... barengan." "Aaah, teman apa teman?" Ya, tentu saja teman. Memangnya, hendak mengharapkan saya menjawab apa? Nunggu gandengan? Pacar? Gebetan? :D 




Saya jadi membayangkan akan ada studi kasus seperti ini : apa yang kamu pikirkan saat melihat seorang wanita menenteng helm di pinggir jalan? Apakah menenteng helm di pinggir jalan berbanding lurus dengan menanti gandengan atau pacar? Oh, sepertinya saya mulai berlebihan, juga mulai mengantuk. Begitulah kisah hari ini (yang terjadi di hari Minggu sebenarnya). Oh ya, hari ini sang wanita tidak akan menenteng helm, dia akan langsung menggaet gandengannya. Tidak, tidak. Ini bercanda. Tidak juga karena ia takut dikomentari lagi (anggap saja orang  berkomentar itu sebagai tanda perhatian), Hari ini ia tidak menenteng helm karena hari Senin bukanlah jadwal menebeng. Lusa baru bisa kau lihat si wanita ini menanti di seberang jalan  dengan helm di tangannya, juga asa di benaknya untuk mendapatkan gandengan dunia akhirat. Semoga.


18 November 2013
01:12 WIB

Sabtu, 16 November 2013

#5BukuDalamHidupku Pip Kecil dan Harapan Pelangi

Seorang gadis kecil itu tampak sudah rapi dan siap untuk diajak pergi. Di hari Minggunya, ia biasa turut pergi bersama seorang gadis muda yang cantik rupa dan hatinya. Dan hampir di setiap minggu, mereka mengunjungi perpustakaan daerah yang letaknya saat itu, menurut prespektif anak-anak, lumayan jauh dari rumah. Tapi tak mengapa. Toh, gadis kecil itu memang lebih menyukai perpustakaan dibanding pusat perbelanjaan yang memiliki arena bermain. Ia malah pusing saat disuruh bermain wahana-wahana yang hanya dengan memasukkan koin tertentu, maka akan menyalalah ia dengan gerakan yang begitu-begitu saja dan iringan nada yang kemana-mana. Ia pun sama merasa pusing karena mabuk perjalanan saat menuju ke perpustakaan, namun kepusingan itu menguap begitu saja saat ia memasuki perpustakaan dan menemui cinta pertamanya : buku cerita anak-anak. Maka, di setiap tahunnya, orangtua gadis kecil itu pun selalu mengurus perpanjangan kartu anggota perpustakaan dan membuat anaknya rutin mengujungi perpustakaan, di saat masa kanak-kanaknya.

*****
  
Gadis kecil itu pun beranjak remaja dan duduk di bangku SMA ketika ia ribut lagi minta berkunjung ke perpusda (perpustakaan daerah), setelah bertahun-tahun sebelumnya ia absen ke sana. Tak tahulah apa yang menjadi penyebab keabsenannya, dan keinginannya untuk bisa kembali ke perpustakaan pun muncul tiba-tiba, sebagai permintaannya yang tengah terbaring sakit karena thypus. Maka, ketika ia sudah sehat dan sebelum kembali ke sekolah, ia pun pergi ke perpustakaan bersama wanita yang sama, yang dulu juga selalu mengantarnya ke tempat itu. Saat memasukinya, ia latah langsung memasuki area buku anak-anak. Mungkin juga, karena memang area itulah yang akrab baginya. Namun, tak seperti dulu, ia tak lagi merasakan ketertarikan yang sama saat berada di area itu. Bukan karena ia tak lagi suka membaca, walau memang, belakangan ia tak lagi rajin membaca, tapi karena koleksi bukunya tidak lagi sebanyak dulu. Banyak buku yang sudah jelek kondisinya. Yang jelas, kunjungannya ke perpusda kala itu menjadi kunjungan yang mengecewakan. Untuk pertama kalinya, ia merasa kecewa dengan perpustakaan.

*****

Sekarang gadis kecil itu sudah beranjak dewasa. Tanyakan kapan terakhir kali ia membaca buku? Hhhm, sekitar seminggu yang lalu. Lalu tanyakan kapan terakhir kali ia ke perpustakaan? Haha, jangan bercanda. Tak usahlah disebutkan kapan terakhir kalinya. Oh ya ralat, untuk urusan membaca buku, tadi pagi pun ia membaca buku, memang bukan untuknya, tapi untuk bocah-bocah di tempatnya bekerja. Menarik sekali bukunya. Penuh warna, gambar-gambar, dan ceritanya pun lucu, tentang seekor tikus yang pemalu dan berusaha untuk mengajak temannya bermain dan ingin menangkap pelangi sebagai hadiah untuk teman-temannya itu, agar bisa bermain bersama. Bocah-bocah kecil itu pun tampak tertarik dengan apa yang ia bacakan, walau ada juga yang tidak bisa diam, atau menatapnya dengan mata mengantuk. Dan ya, demi melihat tingkah polah bocah-bocah yang ada di kelasnya, wajah-wajah polos mereka, juga keceriaan dan pancaran harapan masa depan, ia pun seperti melihat lagi masa kecilnya -- walau tak sebocah mereka ini yang baru berusia tiga tahunan -- saat ia suka sekali membaca buku, walau ia lupa apa saja buku-buku masa kecilnya. Seingatnya, ia pernah membaca lima sekawan (yang membuatnya hampir setiap saat bertanya, "mobil caravan itu seperti apa?"), buku cerita yang berbentuk seperti buku saku kecil-kecil, cerita detektif yang dengan tantangan memecahkan misteri di dalamnya, dan di akhir cerita ada jawabannya, cerita rakyat, ghoosebump, dan berbagai buku lainnya. Buku-buku itu dulu ia dapatkan dari perpustakaan, dan saat membacanya, ia pasti cantik berbinar-binar!



Gadis kecil yang masih kecil dan ramping di usianya yang tidak lagi kecil, kini mendadak rindu sekali akan perpustakaan, walau mungkin sekalipun ia rindu, tapi tak bisa lantas berkunjung ke sana karena kesibukannya (dan juga kemalasannya, mungkin!) Ia juga rindu akan cinta pertamanya, buku cerita anak-anak. Maka, saat melihat buku ini, juga jajaran buku anak-anak di tempat kerjanya, inilah saatnya reminder yang tersetel lama dalam otaknya berbunyi : ia pun terpental ke masa lalu, mengingatkannya akan awal kecintaannya membaca buku dan rajin mengunjungi perpustakaan. Setelah sekian lama, ia pun dengan sendirinya kembali akrab dengan dunia anak-anak dan berencana untuk berburu buku cerita anak-anak agar ia bisa menyimpannya dan buku-buku tersebut dapat dimiliki oleh anak-anak di masa kelak, dengan harapan pelangi akan menghiasi kehidupan lewat buku dan berjuta kisahnya.



Judul Buku : Pip Kecil dan Harapan Pelangi
Penulis       : Elizabeth Baguley & Caroline Pedler
Penerjemah : Hertriani Agustine
Penerbit      : Erlangga
Tahun terbit: 2008

"Pulang & tengoklah buku anak-anak, sebab itu perlu agar hidupmu tak sendu melulu" - GIPP


kemudian ia pulang lewat dunia maya dan menemukan ini! huhuhuhu cuma bisa menatapinya


16 November 2013
22:23 WIB

Jumat, 15 November 2013

#5BukuDalamHidupku Perahu Kertas yang Terlambat Terbaca

Ada yang unik dari dua manusia itu. Setelah dipertemukan dalam obrolan yang tak jelas juntrungannya, yang kemudian berlanjut ke obrolan-obrolan berikutnya, entah bagaimana akhirnya dua manusia itu pun saling tertarik untuk mengenali satu sama lain. Lucu juga mengingat awalnya dua manusia ini merupakan orang asing yang terbawa dalam arus obrolan di belahan dunia antah berantah, namun akhirnya mereka malah berani-beraninya menantang diri untuk menjadi dekat. Seiring berjalannya waktu, mereka pun menemui bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan : sama-sama suka mendengarkan musik Sheila on 7, suka membaca, dan suka iseng. Mereka juga bisa saling melengkapi. Seperti yang satunya tukang masak, dan yang satunya lagi tukang makan, atau yang satunya suka (namun juga suka malas) menulis, sementara yang satunya lebih parah malasnya perihal menulis, tapi kerjanya suka sekali menyuruh-nyuruh yang satunya untuk menulis agar ia mendapatkan bacaan gratis. Dan tak jarang, mereka juga dihadapkan dengan perbedaan-perbedaan: seperti yang satunya terkesan cuek, tapi yang satunya lagi seperti kurang kerjaan dengan mencurahkan perhatian, yang satunya ritme hidupnya berantakan, namun yang satunya lagi lebih suka dengan keteraturan, juga sekali pun mereka suka membaca, namun ternyata tipe bacaannya berbeda sekalipun tema ceritanya sama : tentang detektif. Dan mereka pun pernah terlibat lagi-lagi dalam percakapan yang tak seberapa penting, tentang bacaan kesukaan mereka masing-masing.

Di sebuah rental komputer dan buku, sang pria berdiri di depan jajaran buku-buku yang tersusun di dalam sebuah lemari. Hampir selalu dia akan berada di situ, lama berdiri memilah-milah buku, walau kemudian yang diambilnya pastilah buku yang sejenis itulah. “Pinjam buku ini, yaa!” Lagi-lagi buku Agatha Christie. Sang wanita pun jadi curiga sendiri akan kunjungannya ke rumah, yang juga terdapat rental komputer dan buku, besar kemungkinan untuk berburu Agatha Christie. “Kamu baca ini juga, dong! Masa suka Conan malah gak baca beginian.” Sang pria acap kali mengatakan itu, namun sang wanita dengan polos menjawab, “Ogah, ah! Baca nama tokohnya aja udah ribet.” “Haha..dasar!” Kemudian sang pria pun mengambil posisi duduk dan membuka-buka buku yang dipilihnya. Terkadang langsung dibaca, kadang langsung dimasukkan ke tasnya untuk nanti dibaca. Jika sang pria langsung membacanya di tempat, maka sang wanita pun ikut-ikutan sibuk memilih buku di lemari itu, walau hampir semua buku tersebut sudah dibacanya. Kala itu sang wanita memilih komik detective Conan dan membacanya secara acak. Maka, berbicaralah dua manusia itu dalam dunia imajinasi masing-masing yang telah dibangun oleh buku yang mereka pegang, sampai kemudian terdengar suara yang keluar, “tell me how to read a comic.. gak ngerti deh aku?” Sang wanita pun mengernyitkan dahi. Ini maksudnya apa sih, bukankah tadi sedang asyik menikmati bacaan masing-masing, kenapa pakai acara tanya-tanya yang tak penting “Lah, ya tinggal dibaca aja kata-katanya.” “Emangnya gak pusing? Ribet ah baca komik..” Ia pun menutup komiknya, yang sebenarnya sudah pernah dibacanya, demi fokus menjawab pertanyaan sang pria “Enggak pusing, kok. Coba deh..” Sang pria pun mengambil komik Conan yang disodorkan sang wanita, membolak-balik kertas, kemudian berkata, “enggak, ah. Ribet!”

Lalu di lain kesempatan, masih di depan jajaran buku-buku, kali ini sang pria meraih novel The Gogons-nya Tere Liye, lalu sang wanita berkomentar, “nah, itu buku bagus, tuh!” Sang pria pun memasukkan bukunya ke dalam tasnya, dan sang wanita tak perlu lagi sibuk mencari-cari buku apa yang juga akan dibacanya. Kemudian sang wanita berkata, “mana bacaan buatku? Buku-buku ini  sudah semuanya kubaca, kecuali Agatha Christie, ya! Hehehe.” Sebenarnya, ‘bacaan buatku’ itu lebih merujuk pada tulisan-tulisan dia—tulisan-tulisan mentah yang suka dikirimkan lewat e-mail atau di sosmed. “Iya, ini nih ada!” Ada dua tulisan yang disodorkannya, namun bukan tulisan karyanya. Dan apa yang diberikannya, kemudian baru dibaca sang wanita beberapa bulan kemudian, saat mereka sudah tidak lagi terlibat dalam percakapan-percakapan tak penting, saat mereka kembali menjadi orang asing dan berjalan masing-masing.

*******





Paperback456 pages
Published August 29th 2009 by Bentang Pustaka & Truedee
original title : Perahu Kertas


Perahu Kertas menjadi karya pertama Dewi Lestari yang saya baca. Sebenarnya sudah tertarik untuk membaca karya-karya Dee, namun baru berkesempatan membacanya pada September tahun lalu. Setelahnya, saya pun jadi berburu karya Dee yang lainnya : dan baru memiliki Filosofi Kopi dan Rectoverso. Tentu ingin juga punya serial Supernova, tapi sepertinya perlu bersabar dan rajin menabung dulu, ya :D mengingat masih banyak buku-buku yang tengah saya buru. Kembali lagi ke Perahu Kertas, di sini saya tak mau memaparkan bagaimana isi ceritanya (bukan tak mau, tapi lebih karena energi saya sudah terkuras untuk menulis paparan di atas). Maka, jika ditanya urutkan karya Dee yang kamu suka, saya akan jawab Filosofi Kopi dan Rectoverso, baru kemudian Perahu Kertas. Lalu, jika ditanya mana karya Dee yang berkesan buatmu, maka ya, benar sekali, jawabannya adalah Perahu Kertas. Lantas, apa yang membuatmu memasukkan Perahu Kertas sebagai buku keempat #5BukuDalamHidupku : karena buku inilah yang menjadi awal ketertarikan saya dengan karya Dee yang kemudian memasukkannya dalam daftar penulis favorit. Juga, yang tak (kalah) penting, dari buku ini saya bisa menemukan sisi lain seseorang dan ingin tertawa demi membayangkan ternyata ada yaa seseorang yang (sempat) saya kenal dengan baik menyukai karya Dee, seseorang yang terkesan cuek itu, yang berantakan itu, si rebel itu! Oh, bagaimana bisa? Sayangnya, saya malah baru tahu belakangan tanpa sempat membahasnya.


“Bersama kamu, aku tidak takut lagi menjadi pemimpi.”


Sebelum itu, maka bermimpilah ia untuk bisa terbawa lagi dalam arus obrolan tak penting itu, membahas apa saja. Mungkin bisa dimulai dari pertanyaan: “apakah kamu pemuja Dee?” Lalu bermimpilah ia lagi, sampai semua kembali menjelma nyata. Walau seharusnya ia ingat, bahwa di masa silam apa yang sekarang  diimpikannya pernah terjadi.



15 November 2013
pukul 22:57 WIB

Kamis, 14 November 2013

#5BukuDalamHidupku Cintapuccino -- Perpaduan Kecintaan Membaca dan Kekonyolan yang Kembali Mengepul Hangat

Memasuki hari ketiga proyek #5BukuDalamHidupku #5BukuDalamHidupku membuat saya dilanda kegamangan. Saya telah dengan mantap memutuskan buku pertama,  buku kedua yang buat saya tidak bisa lepas dan berkaitan dengan buku pertama), dan buku terakhir yang sudah dengan bulat saya tentukan, tidak bisa digugat lagi posisinya. Maka untuk mengisi buku pertengahan ini, saya benar-benar dibuat pusing. Menilik apa saja yang telah dituliskan orang-orang dan juga penggagas ide ini, mas Irwan, yang telah menuliskan buku-buku yang menurut saya keren sekali (buku pertama mas Irwan adalah Sang Penyair, yang kemudian membuatnya mengingat akan cita-cita kepenyairannya yang kini tengah ia jalani dan perjuangkan, dan di buku keduanya ia memilih Patimura *oh, bisa-bisanya dia menemukan buku yang keren dan memaknainya sedalam itu), sementara di masa remaja saya isi dengan membaca teenlit!  Maka saya pun kembali gundah dengan pilihan buku untuk menempati posisi pertengahan ini. Lama menimbang-nimbang apakah saya akan memasukkan teenlit/chicklit sebagai buku yang berpengaruh dalam hidup saya, mengingat rasa-rasanya teenlit/chicklit hanyalah bacaan haha-hihi, membacanya sekadar untuk kesenangan, juga kurang “bergizi” (maafkan jika sekarang saya bisa mengatakan ini padahal sempat memuja-muja teenlit dengan segala isi ceritanya). Namun, sejarah tak dapat dibelokkan, fakta tak bisa ditutup-tutupi dan akan mencuat ke permukaan, maka saya pun (akhirnya) memutuskan untuk memasukkan teenlit sebagai buku yang memberikan pengaruh buat saya, karena saya memang tumbuh dan mengisi masa-masa remaja saya dengan bertemankan (dan bahkan berpandukan) teenlit.

Cukup banyak teenlit (dalam negeri) yang saya baca dan masih berjejer rapi di lemari buku. Saya pun pernah kembali iseng membacanya ulang, dan saya pun tertawa-tawa sendiri dibuatnya, demi mengingat betapa (tadinya) teenlit ini benar-benar saya suka karena seolah menceritakan kehidupan saya (saat itu), yang menurut saya teenlit itu merupakan bacaan terkeren sejagat raya hanya karena penggalan ceritanya yang mirip dengan kisah saya, atau kisah perncintaan di teenlit yang membuat saya mupeng ingin mencicipi cinta :D. Betapa kini bacaan itu posisinya telah jauh tergeser, tidak lagi menempati posisi sebagai “buku terkeren sejagat raya”.

 Saat mengunjungi toko buku dan menemukan jajaran teenlit dengan cover baru pun saya tak henti-hentinya tersenyum : “ya ampun, buku ini nih ya! Buku itu tuh ya!” Saya geli membayangkan betapa dulu, pada masanya, saya mengagung-agungkan bacaan tersebut. Namun saya tetap merasa keren karena mempunyai buku-buku tersebut dengan cover lama yang menurut saya lebih oke dan mentereng. Oh ya, saya memang selalu merasa keren sendiri hanya karena membaca buku-buku! :D 

Juga ketika ponakan-ponakan saya berkunjung ke rumah dan meminjam teenlit , dan kemudian harinya saya terperangkap dalam obrolan mereka seputar teenlit yang mereka pinjam dari saya dan mereka baca secara bergiliran : “duh ya…yang ini ceritanya gue banget, ya!” Lagi-lagi, urusan teenlit benar-benar urusan yang membuat saya tertawa lepas , “that was soo yesterday!” “But still, this funny feeling won’t go away”ß (bagian ini juga merupakan kutipan teenlit loh!) Ya, teenlit (juga chicklit) bisa saja dikategorikan sebagai bacaan haha-hihi, bacaan yang menyenangkan dan menjanjikan masa depan percintaan yang indah (karena hampir di tiap akhir ceritanya akan berujung indah), juga menjadikan bacaan macam ini menjadi “kurang bergizi” dibandingkan dengan novel nyastra seperti karya-karya Dewi Lestari, Ayu Utami, Fira Basuki, dan sederet penulis lainnya. Tapi hey, cobalah simak kisah saya yang memecahkan kesunyian di ruang kelas karena menjawab pertanyaan yang dilempar begitu saja oleh dosen berdasarkan apa yang pernah saya baca, teenlit!


Paperback, 260 pages
Published 2005 by GagasMedia (first published 2004)
original title
Cintapuccino
ISBN
9793600225 (ISBN13: 9789793600222)
edition language
Indonesian
 (diambil dari goodreads.com)


Buat para pecinta teenlit di era 2000-an, pastinya tak asing lagi dengan buku satu ini. Cintapuccino, di sampul buku ini tertera sebagai “chicklit asli Indonesia” (namun saya lebih suka menyebutnya sebagai teenlit dan sudah, jangan dibuat pusing, ya?). Buku ini pun digadang-gadang sebagai pioner chicklit / teenlit Indonesia, maka saya pun tergoda untuk membacanya juga setelah kawan saya semasa SMA tak henti-hentinya membicarakan buku ini , “Duh Git…baca deh! Bagus banget, nget, nget!” Begitulah. Akhirnya saya pun mendaftar untuk meminjam buku tersebut pada teman saya. Saya pun mengantri untuk mendapat giliran membaca buku yang konon katanya, bagus banget. Dan setelah selesai membacanya, saya pun masuk dalam arus pusaran pemuja Cintapuccino garis keras, dan berkomentar layaknya ponakan-ponakan saya sekarang yang membaca teenlit : “ini ceritanya gue banget, ya!”

Haruskah saya memaparkan bagaimana isi ceritanya? Namun saya geli sendiri jika harus menceritakan isi buku ini yang sempat saya labeli sebagai “cerita gue banget” ini. (Atau mungkin jika nanti ada kesempatan dan ada yang merajuk minta diceritakan *ngarep banget, sih*, saya akan menceritakannya) Di kesempatan kali ini, saya akan menceritakan bagaimana bisa teenlit yang bisa dikatakan bacaan haha-hihi berpengaruh buat saya, bahkan mampu mengubah hidup saya? Maka, di sinilah kisah itu dimulai.

Saat itu saya tengah berada dalam ruangan lab bahasa di mana saya dan teman-teman saya akan mengikuti kelas salah satu mata kuliah dasar. Kami semua berstatus sebagai mahasiswa baru kala itu dan sebagai mahasiswa baru, pastinya kami masih dalam masa peralihan dari siswa menjadi mahasiswa, dari remaja ke dewasa, dari yang tadinya cablak menjadi mendadak pendiam saat sudah memasuki kelas dan menyimak celotehan dosen yang terlihat sangat, sangat intelek dan keren, jauh dari mahasiswanya yang masih di awang-awang dalam gamangnya pemikiran, seperti: “inikah pilihan hidup saya? Inikah jurusan kuliah yang saya inginkan?” Atau, “saya ingin kabur dari kelas ini!”. Dan beragam pemikiran entahlah lainnya. Maka, di kelas-kelas perkuliahan pada masa awal, akan selalu tercipta keheningan dan hanya ada satu suara : celotehan dosen, atau ditambah celotehan temporal lainnya: seperti permisi ke luar atau ke kamar kecil.

Namun hari itu menjadi berbeda, setidaknya bagi saya. Saat mengikuti perkuliahan , saya mendapati sesosok dosen yang tak asing lagi : beliau adalah guru SMA saya. Di mata kuliah itu tidak tertera namanya, namun kala itu ternyata beliau yang baru pulang dari sekolahnya di benua orang akan mengisi mata kuliah tersebut. Kemudian, tak jelas apa pasalnya di kelas mata kuliah dasar itu beliau malah memaparkan konsep pengembangan diri. Kurang lebih begini : “Jadi, kita bisa mengenali apa saja potensi yang ada di diri kita dengan menganalisisnya dengan berbagai macam konsep. Ada teori bla..bla..blaa… ada teori analisis SWOT. Nah, ada yang tahu teori analisis SWOT?” Seperti di kelas-kelas lainnya, hanya suara pak dosen bergaung sendirian di ruang kelas. Setelah beliau melemparkan pertanyaan dan berhenti berbicara untuk memberikan kesempatan pada mahasiswanya, seketika ruang itu menjadi sunyi. Tapi kesunyian tidak berlangsung di dalam benak saya demi mendengar perkataan pak dosen : “Oh, apa tadi? Analisis SWOT? Oh, itu yang di Cintapuccino itu bukan, sih? Yang waktu Rahmi nganalisis peluangnya buat dapetin Nimo?” Sebagai pembaca Cintapuccino garis keras, saya tentu hapal isi ceritanya. Saya hapal dengan tindak tanduk Rahmi yang teramat amat sangat terobsesi dengan cinta pertamanya, Nimo. Kemudian terdengar suara lagi, masih dari pak dosen : “ayo, ada yang tahu? Teori SWOT ini populer, loh. SWOT ini merupakan singkatan.”  Ah ya, sepertinya tak salah lagi! Tapi saya masih belum berani untuk menjawabnya. Namun, entah apa yang terjadi, tiba-tiba saya merasakan tangan saya terangkat ke atas, dan saat saya ingin menurunkannya, pak dosen sudah menangkap mata saya : “Yak, silakan jawab.” Maka, saya pun memecah kesunyian di kelas dengan suara saya yang agak parau, antara ragu-ragu malu mau kabur saja, “Emm…jadi analisis SWOT itu ya kita menganalisis sesuatu lewat SWOT. SWOT itu sendiri terdiri dari Strength atau kekuatan, Weaknesses atau kelemahan, Opportunity atau peluang, dan Threats atau ancaman. Dengan begitu kita bisa menggali potensi kita dengan melihat apa yang menjadi kekuatan kita dan menyadari kelemahan kita, lalu melihat sejauh mana peluang kita, juga menganalisis kemungkinan ancaman sehingga kita bisa antisipasi.” (Tentu, saya tidak menjawab serunut dan sepanjang itu, deskripsi tersebut hanya dalam upaya agar terlihat keren saja :D). “Yak, betul begitu.” Ujar dosen saya yang kemudian kembali lagi memantulkan gaung suara di kelas sampai kelas hari itu berakhir.

Seusai kelas mata kuliah dasar yang berubah menjadi kelas pengembangan diri hari itu, saya masih merasa heran sekaligus terpukau : “bagaimana bisa saya berhasil memecahkan kesunyian di kelas dengan menjawab pertanyaan berdasarkan bacaan ketika saya masih remaja dan labil-labilnya?” Seusai kelas itu pun, beberapa teman saya mendekati saya dan bertanya : “Lo tahu tentang SWOT dari mana, Git? Baca buku apaan?” Seketika saya pun tersenyum, mungkin mereka memiliki ekspektasi bahwa saya akan menyebut buku tertentu yang keren dan sudah membaca literatur yang berkaitan dengan materi kuliah, dan dengan santai juga geli saya menjawabnya, “dapet baca dari teenlit!”

Jangan tanyakan bagaimana buku ini memberi pengaruh dalam kehidupan remaja saya. Jangan tanyakan bagaimana saya kemudian ikut menamai “my crush, my obsession” sebagai Nimo. Jangan tanyakan bagaimana saya ingin mengajak tos Icha (penulis Cintapuccino) untuk apa yang ia paparkan mengenai Rahmi yang mendadak langsung berasa kucel setiap kali ketemu Nimo, mendadak susah napas di ujung pembicaraan telepon dengan Nimo. Jangan tanyakan bagaimana dalam cerita saya, saya selalu menyebut “Nimo, Nimo, Nimo…. finding my Nimo!” (Bahkan teman saya sampai ada yang rela menguntit dan memfoto Nimo  saat bertemu “my Nimo” yang sebenarnya belum pernah mereka temui, tapi karena seringnya saya bercerita berulang-ulang tentang “my crush, my obsession”, membuat teman-teman saya itu saat melihat seseorang di toko buku merasa seperti apa yang selama ini selalu saya ceritakan, dan ternyata memang benaar : Finally my friends recognized and met “my Nimo”!), dan berbagai macam kekonyolan yang lain.

 Namun di atas itu semua, alasan kuat yang membawa saya menempatkan Cintapuccino dalam #5BukuDalamHidupku sebab buku ini menjadi penguat saya untuk semakin mencintai apa yang telah menjadi kegemaran saya yang tertanam sejak kecil, yaitu membaca buku. Tak ada lagi alasan untuk tak suka membaca. Bahwa dengan membaca kita mendapatkan banyak hal: dengan membaca kita bisa merasakan kesenangan, suka cita, wawasan kita menjadi terbuka, banyak mendapatkan sesuatu, membuat kita terus belajar dari sebuah bacaan. Ya, membaca apa saja pasti akan meninggalkan manfaat yang banyak sekali untuk kita. Seperti saya yang secara tak tertuga bisa menjawab teori SWOT hanya karena saya membaca teenlit yang katakanlah “kurang bergizi”. Namun, sekali lagi, bacalah sebanyak-banyaknya, apapun itu : buku cerita anak-anak, komik, novel, teenlit, chicklit, buku resep, koran, buku pelajaran, tidak akan ada ruginya menanamkan kebiasaan membaca. Dan karena kejadian pecahnya kesunyian di kelas karena teenlit itu mengubah hidup saya karena sontak membuat saya merasa keren sekali akan kegemaran saya membaca (tak pernah saya merasa sekeren saat itu sebagai pembaca), saya pun berjanji untuk semakin banyak lagi membaca, dan sampai sekarang saya masih gemar membaca, walau sangat disayangkan, kala itu saya tak gemar membaca buku-buku kuliah saya.


14 November 2013


Pukul 20:21 WIB

Rabu, 13 November 2013

#5BukuDalamHidupku Meniti Bianglala


Judul Buku                 : Meniti Bianglala (The Five People You Meet in Heaven)
Penulis                       : Mitch Albom
Penerjemah                 : Andang H. Sutopo
Desain sampul             : Eduard Iwan Mangopang
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Tebal                          : 208 halaman; 20 cm
Cetakan                      : I. April 2005 , V. April 2011



"Bahwa tidak ada kejadian yang terjadi secara acak. Bahwa kita semua saling berhubungan. Bahwa kau tidak bisa memisahkan satu kehidupan dari kehidupan lain, sama seperti kau tidak bisa memisahkan embusan udara dari angin."


 Setelah di hari pertama proyek #5BukuDalamHidupku saya memasukkan buku "Rembulan Tenggelam di Wajahmu", maka rasanya di hari kedua ini saya tidak bisa tidak memasukkan buku ini sebagai buku kedua yang memberikan pengaruh buat saya. Tak hanya di kehidupan yang saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain, buku pun juga memiliki keterkaitan satu sama lain. Pasti kita sering mendengar bagaimana seorang penulis ditanya "siapa penulis favoritmu?" atau "siapa saja penulis yang mempengaruhi tulisanmu?" Seperti itulah. Setiap tulisan mempengaruhi tulisan lainnya. Seperti buku ini yang masuk dalam daftar perburuan saya karena saat saya membaca-baca ulasan mengenai Rembulan (sebut saja singkatnya begitu), buku ini pun disebut-sebut oleh banyak orang : yang katanya bang Tere (penulis Rembulan) meniru tulisan inilah, yang katanya bang Tere plagiat-lah, dan berbagai “katanya-katanya” lainnya. Maka ketika saya menemukan buku ini di bazaar Gramedia bulan Juni lalu,  saya pun tak ragu untuk membawanya pulang dan segera membacanya. Lantas, setelah selesai membaca, apakah saya menemukan apa yang telah dilontarkan orang-orang tersebut? Hhhm… rasanya saya tak hendak menganalisisnys lebih dalam. Memang ada kemiripan dalam isi ceritanya : jika di Rembulan konsepnya adalah lima pertanyaan, di buku ini konsepnya bertemu dengan lima orang yang menjelaskan mengenai kehidupan. Namun sekali lagi, saya tidak ingin (atau belum ingin) menganalisis dua karya ini karena yang saya ingin sekarang hanyalah berbagi tentang buku ini yang memberikan pengaruh buat saya (lagi-lagi) tentang kehidupan, juga cinta.


Masing-masing orang mempunyai bayangan sendiri tentang surga, begitu pula sebagian besar agama; semuanya patut dihormati. Versi yang digambarkan di sini hanyalah dugaan, harapan, agar paman saya, dan orang-orang lain seperti dia – yang merasa keberadaannya di dunia tidaklah penting – akhirnya menyadari betapa mereka sangat berarti dan disayangi.

Begitulah pengantar dari sang penulis yang mempersembahkan buku ini untuk pamannya. Pada awal membaca bagian ini, saya membacanya biasa-biasa saja. Namun, setelah saya menyelesaikan membaca dan kembali membaca bagian ini, saya merasa terenyuh : … agar paman saya, dan orang-orang lain seperti dia – yang merasa keberadaannya di dunia tidaklah penting – akhirnya menyadari betapa mereka sangat berarti dan disayangi. Pernahkah kamu merasa menjadi manusia yang tidak penting di dunia ini? Pernahkah kamu merasa terjebak dalam pusaran kehidupan yang tidak kamu suka dan kamu tidak bisa menerimanya? Sebagai manusia (yang sangat sangat biasa) saya pernah merasakannya. Rasanya sungguh tidak enak dan mengganjal di hati. Rasanya sungguh sangat tidak nyaman, tidak menentramkan. Namun bersyukur, saya tidak sampai merutuki apa yang terjadi dan tak sampai menyilet-nyilet diri (oke, ini berlebihan), dan saat membaca buku ini, saya seperti diingatkan untuk tak lagi merasa tidak penting, untuk tidak mempertanyakan dan (menyalahkan) mengapa hal-hal tertentu (yang tak mengenakkan tentu) terjadi dalam hidup.


Buku ini berkisah tentang bernama Eddie (Edward), lelaki tua veteran perang yang menghabiskan masa tuanya sebagai teknisi maintenance di taman hiburan Ruby Pier. Di usianya yang menginjak 83 tahun, Eddie praktis kehilangan semua orang yang dicintainya: ibunya, istrinya meninggal dunia di usia 47 tahun, dan tinggallah ia sendirian. Sekalipun ia bekerja di tempat yang penuh keceriaan dan hingar bingar, namun tetap ia merasa sepi dan ia pun membenci rutinitasnya di Ruby Pier, tempat yang sudah akrab dengannya sejak kecil, ia benci harus meneruskan pekerjaan ayahnya ini. Ia benci harus terjebak dalam rutinitas kehidupan yang begini-begini saja, ditambah rasa hampa harus menjalani hidup sendirian. Hingga sampailah ia pada akhir kehidupannya yang ternyata berakhir di Ruby Pier saat ia menolong seorang gadis kecil dari wahana mainan. Dan di akhir kehidupannya, perjalanan menuju “kehidupan lainnya” pun dimulai dengan bertemu lima orang yang menjelaskan arti kehidupannya di dunia yang dianggapnya tidak berharga.


Jika di buku Rembulan saya merasa jalan ceritanya terlalu panjang dan bertele-tele sehingga membuat ngantuk (saya sempat merasakannya di bagian awal) (ohya maafkan jika saya selalu mengaitkan Rembulan dengan buku ini), maka di buku ini saya menemukan pemaparan yang lebih sederhana dan singkat, namun padat isinya. Rasanya setiap kali membalikkan kertas, ada saja kutipan yang bermakna dan membuat saya sangat “hidup” saat membacanya. Saya suka dengan pertemuan Eddie dengan kelima orang (baik yang dikenalnya maupun tidak dikenal) yang menjelaskan tentang kehidupannya. Namun ada dua pertemuan yang paling saya suka : yaitu saat Eddie bertemu dengan orang ketiga, Ruby Pier dan orang keempat, yaitu Margueritte, istrinya.


Apa yang saya suka dari pertemuan Eddie dengan Ruby Pier? Oh tunggu, Ruby Pier? Mengapa namanya sama dengan nama taman hiburan tempat Eddie bekerja? Eddie pun tak mengenali orang ini (orang ini adalah orang kedua yang tidak ia kenali, namun bisa-bisanya menjelaskan hidupnya?)
“Kejadian-kejadian yang tejadi sebelum kau dilahirkan tetap mempunyai pengaruh pada dirimu. Dan orang-orang yang hidup sebelum kau juga mempunyai pengaruh pada dirimu.”
 Ruby Pier adalah alasan mengapa taman hiburan Ruby Pier ada dan Eddie pun akhirnya bekerja dan menghabiskan waktunya di sana. Ya, taman hiburan Ruby Pier diambil dari namanya, dan taman hiburan itu merupakan hadiah dari sang suami untuk Ruby. Yang saya suka juga dari bagian ini adalah saya suka sekali membaca nama Ruby. Saya senang sekali mengulangi membacanya : Ruby, Ruby, Ruby! Saya pun memasukkan nama Ruby ini sebagai kandidat nama anak di masa depan kelak! :D

Dan yang saya suka di pertemuan Eddie dengan Marguerite?  Apalagi kalau bukan tentang cinta!


Orang asing sering mengatakan mereka ”menemukan” cinta, seakan-akan cinta sejenis benda yang tersembunyi di balik bongkahan-bongkahan batu. Tapi cinta mempunyai berbagai bentuk, dan tidak pernah sama bagi setiap pria atau wanita. Yang ditemukan orang sebenarnya cinta tertentu. Dan Eddie menemukan cinta tertentu dalam diri Marguerite, cinta yang didasari rasa syukur, cinta yang mendalam walaupun tidak menggebu-gebu, cinta yang ia tahu, lebih dari segalanya, tidak akan bisa digantikan oleh apa pun. Setelah kematian Marguerite, ia membiarkan hari-harinya menjadi hampa. Ia menidurkan hatinya.
Dari deskripsi ini, saya (kemudian, duh telat yaa) baru memahami bagaimana mekanisme cinta: bagaimana bisa si Aladdin jatuh cinta dengan Jasmine, padahal ada Cinderella yang cantik dan rajin? Di sini penulis mengunakan kata “cinta tertentu” yang tentunya akan sangat beragam variasinya mengapa dia jatuh cinta dengan dia yang lainnya? Karena dia menemukan cinta tertentu. Dan di sini, saya sangat amat menyukai opa Eddie (dia sudah tua bukan?) yang tetap setia dan mencintai istrinya hingga akhir hayat, sekalipun ia tersiksa dan dirundung hampa.

“Cinta yang hilang tetap cinta, Eddie. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Kau tak bisa melihat senyumnya, atau membawakannya makanan, atau mengacak-acak rambutnya, atau berdansa dengannya. Tapi ketika indra-indra itu melemah, indra-indra lain menguat. Kenangan. Kenangan menjadi pasanganmu. Kau memeliharanya. Kau mendekapnya. Kau berdansa dengannya.”

“Kehidupan harus berakhir. Tapi cinta tidak.”


 Maka, inilah buku kedua dari #5BukuDalamHidupku untuk mengingatkan saya apalagi kalau bukan untuk selalu menebar kebaikan karena setiap kehidupan saling berhubungan dengan kehidupan lainnya, juga untuk membuat saya merenungi cinta tertentu saya -- siapakah, di manakah, dan bagaimanakah? Sudah adakah?


13 November 2013
pukul 23:25 WIB

Senin, 11 November 2013

#5BukuDalamHidupku Rembulan Tenggelam di Wajahmu

Judul buku     : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis             : Tere Liye
Penerbit          : Republika
Desain cover : Eja-creative14
Tebal                : iv+426 halaman
Cetakan           : I. 2009 ; VI. 2011




Apa rasanya menjadi anak yatim piatu yang sejak lahir tak pernah tahu bagaimana rupa ayah ibunya? Bahkan tidak mengenali orangtuanya, apalagi keluarganya? Benar-benar sebatang kara. Bagaimana ia menjalani hidupnya, memaknai hidupnya?


Pertanyaan ini muncul seketika justru saat saya tengah merasakan kebahagiaan karena mendapatkan curahan kasih sayang dari orangtua, juga keluarga. Bisa dibilang saya merupakan anak yang tumbuh dari kasih sayang dan penuh perhatian dari keluarga, sekalipun perhatiannya itu juga bisa berupa omelan-omelan panjang. Walau ada terselip rasa sebal saat mendapatkan omelan, namun saya meyakini bahwa omelan itu tanda kalau orang tersebut peduli dengan kita, malah lebih menyedihkan lagi jika kita dibiar-biarkan saja melakukan ini-itu semaunya. Lantas bagaimanakah jika seorang itu yatim piatu dan tidak memiliki keluarga? Siapa yang akan "mengomelinya"? Saya pun memiliki teman yang menjadi yatim piatu saat ia beranjak remaja. Saya suka memperhatikannya dan ia terlihat sama seperti saya, juga teman-teman lainnya : suka tertawa, bercanda, marah, tertawa lagi. Bahkan ia terlihat lebih ceria. Ingin rasanya saya bertanya: "apa rasanya jadi kamu?" Namun pertanyaan itu tak pernah saya lontarkan, seberapapun penasarannya saya akan bagaimana seorang yatim piatu memaknai hidupnya. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan buku ini -- ya, sebuah novel fiksi, namun sekalipun fiksi isinya sangat menggambarkan kehidupan dan bagaimana memaknai kehidupan.


Adalah Rehan (atau Ray, juga bisa dipanggil Rae)  tokoh utama dalam novel ini merupakan anak yatim piatu yang tumbuh dengan kehidupannya yang kelam. Setelah memutuskan untuk pergi dari panti asuhan karena kebenciannya terhadap bapak pengurus panti, di usia remajanya Ray hidup di jalanan, merasakan kerasnya kehidupan jalanan : menjadi pengamen, berjudi, bahkan berkomplot menjadi pencuri. Curiannya bukan sembarang curian: berlian seribu karat! Seberapapun kelamnya kehidupan yang ia kecap, namun ia pun berhak merasakan kebahagiaan saat ia pertama kali bertemu dengan Fitri, si gigi kelinci justru saat ia berupaya melarikan diri dari masa lalunya yang kelam. Pertemuannya dengan si gigi kelinci kemudian membuat hari-harinya berbeda – diliputi oleh cinta. Ray yang sama sekali tidak pernah memiliki bayangan akan sebuah keluarga akhirnya bisa mulai merasakannya saat ia menikah dengan gigi kelinci. Saat Ray mulai mengecap manisnya kehidupan dengan menjalani enam tahun hidupnya bersama sang istri, ternyata ada rencana lain untuk hidupnya: sang istri berpulang ke hadapanNya. Ray pun kembali merutuki langit dan tenggelam dalam kesedihan. Namun ia tumbuh menjadi seorang pria yang mapan dan menapaki karirnya yang semakin gemilang, walau ia merasa hidupnya hampa sekalipun kini bergelimang harta, merutuki betapa tidak adilnya hidup dan betapa hidupnya sesak dipenuhi oleh berbagai pertanyaan-pertanyaan, yang kemudian menemukan jawabannya ketika ia terbaring sakit di usianya yang 60 tahun. Betapa semua yang menimpanya dan orang-orang yang ada di sekitarnya, yang dikenalnya dengan baik, juga yang tidak dikenalnya, memiliki keterkaitan satu sama lain.

Novel ini merupakan novel yang membuat saya merenung lama, lama sekali untuk kemudian meresapi apa saja yang tertulis dalam novel ini. Saya pun masih kebingungan untuk mengungkapkan bagaimana persisnya perasaan saya setelah membaca novel ini (mungkin saya memang tak berbakat untuk menunjukkan perasaan *menyisipkan curhatan sedikit boleh, ya?* hehe), Namun yang jelas dari novel yang tebalnya 426 halaman saya belajar untuk terus bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. membuat kita belajar menapaki kehidupan lebih baik lagi, tak peduli seberapa kelam masa lalu kita, dan membuat kita belajar akan sebuah penerimaan yang indah terhadap apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Juga untuk selalu ingat bahwa setiap apa yang terjadi memiliki alasannya untuk terjadi, suka atau tidak suka, dan betapa kehidupanmu juga mempengaruhi kehidupan orang lain, saling melilit, saling menjalin.

Karakter Ray juga seperti hidup dalam kehidupan saya. Diceritakan bahwa Ray menapaki karirnya sebagai mandor bangunan, sebelum akhirnya berjaya sebagai pebisnis dengan perusahaan properti yang  menggurita. Ray memiliki kebiasaan berada di atap tertinggi gedungnya dan menatap rembulan, karena dengan menatap rembulan seolah beban hidupnya ikut terangkat. Maka, setiap kali melihat gedung tinggi yang tengah dibangun, saya selalu membayangkan ada sosok Ray di puncak gedung itu, duduk di atap menatap rembulan. Mungkin saya berlebihan, tapi tokoh Ray memang melekat dalam ingatan saya dan seolah ada. Saya, yang juga gemar menatap rembulan dan langit kerap juga merasakan seolah apa yang membebani terangkat begitu saja seperti meneruskan kebiasaan Ray  dan menanti sampai saya merasa tak perlu lagi menatap rembulan sendirian dengan penuh beban.


“Kau tahu, aku paling suka menyaksikan rembulan seperti ini sejak kecil, yang. Entahlah aku tidak mengerti apa yang terjadi setiap aku melihat rembulan. Tapi aku selalu merasakan damai menatapnya. Tenteram.” (halaman 294)



“Rembulan ini selalu membuatku sejenak bisa melupakan banyak masalah. Semakin sesak apa yang kupikirkan, makin semakin sering aku duduk menatapnya, mengadu. Kau tahu, dua tahun terahir bersamamu, aku tidak merasa lagi perlu menatap rembulan.” (halaman 294-295)


12 November 2013
pukul 03:45

Sabtu, 09 November 2013

Khaylila's Song

Khaylila yang cantik
cepatlah kau besar
Ajarkan dunia berbagi seperti yang kuajarkan kepadamu
Khaylila yang mungil
bila kau jadi pemimpin 
Berikan hak mereka
bebas dari rasa takut juga rasa tertindas
Dengan senyummu senjata membeku
Tentara bernyanyi ikuti tingkahmu
Tak ada lagi naluri menguasai
Perlahan berganti naluri berbagi
Satu hal yang pasti
ajarkan anak kita
Berbagi... memberi...
lebih dari yang kita lakukan untuk saat ini
Dengan senyummu senjata membeku
Tentara bernyanyi ikuti tingkahmu
Tak ada lagi naluri menguasai
Dengan senyummu langit terpeluk
Bintang bertekuk
Kubutuh kau sentuh
Tak ada lagi yang kutakuti
ku terlindungi dengan sentuhanmu


* Khaylila's song - Sheila on 7*

**************************************************


>> Random itu ketika tengah malam begini memutar lagu ini lantas tersenyum-senyum
sendiri-- membayangkan kelak bapaknya anak-anak menyanyikan lagu ini hahaaha :D. Jadi, buat calon bapak, boleh deh nih cari lagu ini dan resapi. Selamat menikmati!


November 10th, 2013
02:32 a.m.

Rabu, 06 November 2013

Tentang Kepulangan

Siang tadi saya diminta teman tersayang untuk menemaninya kala jam istirahat kerja. Kali ini ia minta ditemani ke tempat dan momen yang berbeda. Jika biasanya saya suka menemani atau minta ditemani untuk hal-hal yang menyenangkan, seperti membeli keperluan bulanan, mencari kado, belanja buku-buku, atau untuk hal-hal yang ribet tapi dibawa senang, seperti mengurus pajak motor, atau mengepos barang, namun siang tadi berbeda. Teman saya minta ditemani untuk melayat teman sekelasnya di masa kuliah. Saya tidak mengenal temannya ini, namun saya tahu perihal kepulangannya ke pangkuan sang pencipta sejak kemarin melalui postingan teman-teman yang lain di media sosial. Aditya Prasetya, berpulang saat menjalankan tugasnya di Maluku Tenggara Barat sebagai salah satu pengajar muda Indonesia Mengajar angkatan VI. Menurut yang tertulis di akun Indonesia Mengajar, Aditya meninggal dalam keadaan damai ketika sedang tertidur saat sedang menginap di rumah dinas Bupati MTB. Ia bersama teman-teman sekabupatennya sedang menyiapkan pelatihan guru di ibu kota MTB. Malam hari sekitar pukul sembilan, Aditya pamit untuk tidur duluan, dan keesokan harinya, tanggal 5 November 2013 saat temannya hendak membangunkan Adit, badan Adit sudah dalam keadaan dingin. Bupati MTB segera memanggil dokter pribadinya untuk memberikan tindakan medis. Dokter kemudian menyatakan Aditya sudah meninggal dunia.

Kepulangannya yang mendadak sontak membuat semuanya terkejut. Saya, yang tak mengenalnya saja, rasanya bisa turut merasakan kehilangan dari keluarga, kerabat, dan teman-teman terdekat. Adit meninggal saat ia jauh dari keluarga, kerabat, dan teman-teman terdekat, terlebih ia tengah menjalani tugas yang mulia, mengabdikan diri menjadi pengajar di daerah-daerah pelosok. Maka tak heran ketika saya sampai di rumah duka, rumah kecil di tengah rapatnya rumah-rumah yang lain itu sesak oleh para pelayat yang turut berbela sungkawa. Apakah di antara para pelayat itu ada yang tak kenal dengan Adit seperti saya? Entahlah. Mungkin ada.

Jenazah belum tiba saat saya dan teman saya melayat, dan orang-orang tetap silih berganti berdatangan. Saat memasuki rumahnya, ibunda Adit tampak dikelilingi pelayat, dan akhirnya saya dan teman saya memilih untuk duduk di dekat pintu. Teman saya pun bercerita tentang Adit: dia tidak terlalu dekat dengan Adit, namun ada satu cerita yang tak terlupakan. Kala itu saat ujian teman saya hendak memberikan contekan ke temannya yang belum belajar melalui Adit, dan Adit menolaknya. Idealis, teman saya bilang begitu. Saya pun menyimaknya. Berada di rumah duka membuat kami juga ikut berduka, dan jadi kembali mengingat kepulangan-kepulangan orang tersayang. Saya pun malah bercerita tentang kepulangan ayah saya, teman saya pun begitu, yang membuat kami jadi diliputi kesedihan karena kehilangan orang-orang tersayang. Namun saya teringat kata-kata bang Tere tentang kepergian dan kepulangan. Kurang lebih begini: "mengenai kepulangan orang tersayang untuk selama-lamanya, selalu lihat dari sisi yang pergi, bukan dari yang ditinggalkan." Ya, agar kita bisa menerima kepergian orang-orang tersayang dengan ikhlas. Tak mudah memang, sedih pasti ada, namun kita memang harus merelakan kepergian orang-orang tersayang ke keabadian, dan kelak kita semua akan menuju ke sana.

Ketika pamit pulang, ibu Adit berkata untuk memaafkan segala kesalahan anaknya. Rasanya saya ingin menjawab kaau saya tidak mengenal Adit, dan tidak ada yang perlu dimaafkan. Begitu pun saat kami bersalaman dengan adiknya Adit. Ketika melintasi meja saat berpamitan, tertera nama Adit dan tanggal lahirnya yang membuat saya terenyuh. Usianya sama seperti saya. Betapa kita tidak pernah tahu skenario yang telah ditetapkan sang Pencipta. Betapa maut bisa menghampiri siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Lalu saat melihat ramainya pelayat dan mendengar sedikit obrolan mereka, mereka selalu bercerita tentang kebaikan-kebaikan Adit. Adit yang baik, Adit yang semangat, Adit yang optimis. Betapa kepergiannya dipenuhi cerita kebaikan. Sontak saya membayangkan diri saya: akankah saya juga akan diingat dengan kebaikan-kebaikan?

Selamat jalan Adit.... beristirahat dengan damai dan tenang... kepulanganmu mengingatkanku untuk selalu berbuat baik dan yang terbaik, karena kebaikan tak akan pernah mati, sekali pun raga ini telah mati dan terkubur sendiri. 




November 7th, 2013
1:11 a.m.
 

Sample text

Sample Text