Social Icons

Pages

Selasa, 06 Agustus 2013

Kalung Cokelat

Cuek. Mungkin kesan itulah yang timbul saat mengenal saya. Kesan cuek bisa tertangkap dari sikap, atau cara saya berpenampilan. Kali ini saya mau membahas soal penampilan dulu. Saya memang cuek dalam berpenampilan. Cuek dalam artian tidak sibuk memikirkan "akan pakai baju apakah hari ini? atau "akan pakai baju apakah saat diundang ke pesta?" atau "bajuku kok itu-itu saja ya? aku tak punya baju yang lain." Saya tidak pernah ambil pusing mengenai penampilan. Selagi saya nyaman dan sesuai dalam mengenakan pakaian, maka selesailah sudah perkara soal penampilan. Pun saat saya memakai baju yang itu-itu saja, tidak masalah selagi bajunya wangi dan sudah dicuci :D. Baju yang lama tinggal dipadupadankan dengan yang lainnya, ditambah aksesoris, maka voila, pasti kece! Ah ya, aksesoris, si penunjang penampilan buat si cuek ini. Saya mempunyai berupa aksesoris kalung yang tersimpan di lemari kamar. Dan saya punya cerita tentang satu kalung berwarna cokelat.
 

salah satu teman tersayang & saya di acara pernikahan teman tersayang satunya. Gimana, cantik kan? :D

Kalung cokelat merupakan kalung favorit saya. Saya sering memakainya karena warnanya yang netral dan sesuai dengan baju-baju saya yang kebanyakan berwarna alam : hijau, cokelat, oranye. Jadi terlihat matching saat memakainya. Kalung ini juga sering mendapatkan pujian saat saya mengenakannya. Suka ada yang bilang, "kalungnya bagus deh. Beli dimana?" Duh, jangan tanya ini dibeli dimana, karena saat itu saya tidak menanyakannya pada si pemberi. Ya, kalung ini pemberian dari seorang teman atau kenalan dari acara radio sekitar empat tahun yang lalu. Bermula dari acara radio, kemudian bertukar id friendster (saat di ujung akhir kejayaan friendster), berlanjut di facebook, juga bertukaran nomor handphone. Saat itu saya dan ia intens berkomunikasi, dan saya mendapati ia sebagai seorang yang seru dan suka cerita, walau sering mendominasi dalam berbicara. Saya pun akhirnya tahu kalau ia ternyata bekerja di Kalimantan dan saat acara radio itu dia sedang dalam masa liburan.

Saat di Kalimantan, ia kerap menelpon saya, bercerita seputar kegiatannya di sana. Ia memang senang sekali bercerita, dan saya merasa lega karena saya tinggal menyediakan telinga untuk mendengarkan setiap ceritanya. Saya memang lebih suka menjadi pendengar daripada menjadi pencerita. Ada satu cerita darinya yang masih saya ingat. Saat itu ia sedang kesal karena orang-orang berkomentar jelek tentangnya karena ia memasang foto dengan memegang botol whisky. Lantas ia mempertanyakan pada saya akan pandangan orang-orang yang menurutnya seenaknya saja dalam menilai orang, "kenapa orang-orang langsung nganggep gue bejat lah? Langsung mikir negatif. Padahal kan gue cuma foto sama botol whisky kosong." Ingin rasanya saya menjawab , "ya lagian ngapain juga pake pasang foto begitu." tapi kalimat itu tidak saya lontarkan. Ia masih terus mendumel juga melakukan pembelaan-pembelaan, sampai tiba giliran saya untuk bicara ,"ya udahlah. Lo mikirin amat omongan orang." Dan ia pun sontak diam. Ada jeda diantara percakapan telepon itu. "Lo cuek banget sih." Begitu ia berkata. Sambil sedikit tertawa, saya membalas ucapannya, "Lah? ya ngapain juga diambil pusing. Lagian lo kenapa juga pasang foto begitu?" "Ya iseng aja. buat having fun." "Nah, kalau buat having fun kenapa juga sekarang lo jadi pusing. Kalo lo ngerasa keganggu tinggal apus. Beres." begitu tutup saya di telepon dan sepertinya ia bisa sedikit lega dan tidak lagi ribet memikirkan opini orang.

Baru pertama kali ini saya mendapatkan teman yang "berbeda". Saya hanya punya sedikit teman pria. Itupun biasanya merupakan teman saya saat sekolah, kuliah, atau teman organisasi. Ia merupakan teman pertama saya dari kalangan luar. Dari antah berantah. Gaya hidupnya pun berbeda. Menurut saya ia termasuk pria metropolitan dengan gaya hidup hura-hura. Pernah di suatu minggu pagi ia sudah menelpon saya dan bilang kalau ia tengah ada di salon, sementara saya masih berkutat dengan pekerjaan bersih-bersih rumah. Atau ia juga kerap bercerita habis party di Bontang. Duh, apa enaknya sih party dan clubbing? Enak juga tidur. Saya pun hanya mendengarkan ceritanya dan menanggapinya kalau perlu. Menurut pengamatan saya, ia memang lebih perlu orang yang mau mendengarkannya.

Cuek dan jutek. Begitu ia kerap mengalamatkannya pada saya. "Ya ampun, lo jutek amat sih ngangkat telepon." Begitu keluhnya. Sementara saya merasa memang seperti itu nada saya dalam menjawab telepon, dan ternyata, memang terkadang saya suka berbicara dalam nada tinggi yang menjadi kebiasaan buat saya. Suatu waktu ia bepergian ke Bali dan Yogya, sebelum kembali pulang dan ia sering sekali bertanya, "Lo mau oleh-oleh apa?" atau "Duh, gue beliin lo apa ya?" atau "Lo mau apaan. Kemaren temen gue minta sepatu gue beliin. Santai aja ama gue." Dan saya pun cuma bisa bilang "Gak usah repot-repot, ah." atau "gak usah deh. Entar menuh-menuhin bawaan lo." Begitu saja. Jujur saya tidak terbiasa menerima pemberian, apalagi dari orang yang baru dikenal. Walau saya dan ia berteman, tapi tetap rasanya tidak nyaman buat saya.

Teman-teman dekat saya tahu kalau saya tengah dekat dengan "stranger". Ya, teman-tean saya itu melabelinya dengan "stranger". Kata mereka ia bisa jadi suka dengan saya. Haah, apa-apan tuh analisanya? Yang jelas saya tidak menaruh perasaan apa-apa padanya. Hanya sebagai teman, dan saya senang bisa berteman dengan orang yang berbeda dengan saya. Menurut saya ia pun begitu, kami berteman karena perbedaan. Ia sepertinya ingin memperluas jajahan pertemanannya ke kalangan guru, begitu saya menjelaskan ke teman-teman. "Tapi gimana kalo dia suka sama lo. Lagi tiap apa-apa cerita sama elo. Ya apa lagi kalau bukan suka." Laah, kalau ia suka ya itu kan perasaan dia ya. Ya saya bakal tetap begini sama dia. Berteman. Begitu lontar saya. Dan langsung saya ditoyor teman-teman tersayang, "dasar cuek bebeeeek!"

Pada suatu kesempatan pulangnya, saya dan ia bertemu. Saya mengajak satu teman tersayang saya dan ia mengajak adiknya. Ia pun memberikan oleh-oleh ke saya, "ini akhirnya gue beliin lo kalung. Sama tuh sama penyiar-penyiar Oz. Mereka pada seneng dan bilang kalungnya bagus." Begitu kalimat pengantarnya. Saya pun menyambut pemberiannya dan mengucapkan terima kasih. Setelahnya, saya, bersama teman saya ditraktir nonton. Lumayanlaah hiburan gratis! :D Setelah pertemuan itu, ia pun mengajak saya untuk kembali bertemu lagi. Kali ini hanya berdua saja. Tapi saya tidak bisa menyanggupinya. Entah mengapa saya malas kalau mesti jalan hanya berdua. Saya tidak masalah sendiri menemuinya, asalkan ia mengajak adik perempuannya agar saya bisa sedikit meredam kegemarannya dalam bercerita yang mendominasi. Dan saat kepulangannya kali itu, saya sempat pergi beberapa kali dengannya, juga adiknya. Senang bisa punya teman sepertinya yang walaupun berbeda, tetapi bisa berbaur dengan sendirinya.

From stranger into friend, and back into stranger. Sekarang saya dan ia tidak berkomunikasi lagi. Saya lupa sejak kapan tepatnya, mungkin saat saya tengah sibuk, dan ia pun juga begitu. Tapi tak mengapa. Pertemanan ini akan tetap terkenang. Dan karena kalung cokelat ini, saya jadi ingat akan cerita ini yang mungkin sempat terlupa. Oh ya, saya  memang cenderung senang berteman dan berbagi cerita dengan strangers. Sensasi untuk mengenal stranger lebih dekat itu seru, dan saya suka wondering how could strangers come into my life, and later on i know more about them. maybe, because i let them come. Any strangers, then? :D


August 6th, 2013
11:50 p.m.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text