Judul buku : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Desain cover : Eja-creative14
Desain cover : Eja-creative14
Tebal : iv+426 halaman
Cetakan : I. 2009 ; VI. 2011
Cetakan : I. 2009 ; VI. 2011
Apa rasanya menjadi anak yatim piatu yang sejak lahir tak pernah tahu bagaimana rupa ayah ibunya? Bahkan tidak mengenali orangtuanya, apalagi keluarganya? Benar-benar sebatang kara. Bagaimana ia menjalani hidupnya, memaknai hidupnya?
Pertanyaan ini muncul seketika justru saat saya tengah merasakan kebahagiaan karena mendapatkan curahan kasih sayang dari orangtua, juga keluarga. Bisa dibilang saya merupakan anak yang tumbuh dari kasih sayang dan penuh perhatian dari keluarga, sekalipun perhatiannya itu juga bisa berupa omelan-omelan panjang. Walau ada terselip rasa sebal saat mendapatkan omelan, namun saya meyakini bahwa omelan itu tanda kalau orang tersebut peduli dengan kita, malah lebih menyedihkan lagi jika kita dibiar-biarkan saja melakukan ini-itu semaunya. Lantas bagaimanakah jika seorang itu yatim piatu dan tidak memiliki keluarga? Siapa yang akan "mengomelinya"? Saya pun memiliki teman yang menjadi yatim piatu saat ia beranjak remaja. Saya suka memperhatikannya dan ia terlihat sama seperti saya, juga teman-teman lainnya : suka tertawa, bercanda, marah, tertawa lagi. Bahkan ia terlihat lebih ceria. Ingin rasanya saya bertanya: "apa rasanya jadi kamu?" Namun pertanyaan itu tak pernah saya lontarkan, seberapapun penasarannya saya akan bagaimana seorang yatim piatu memaknai hidupnya. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan buku ini -- ya, sebuah novel fiksi, namun sekalipun fiksi isinya sangat menggambarkan kehidupan dan bagaimana memaknai kehidupan.
Adalah
Rehan (atau Ray, juga bisa dipanggil Rae) tokoh utama dalam novel ini merupakan anak
yatim piatu yang tumbuh dengan kehidupannya yang kelam. Setelah memutuskan
untuk pergi dari panti asuhan karena kebenciannya terhadap bapak pengurus
panti, di usia remajanya Ray hidup di jalanan, merasakan kerasnya kehidupan
jalanan : menjadi pengamen, berjudi, bahkan berkomplot menjadi pencuri.
Curiannya bukan sembarang curian: berlian seribu karat! Seberapapun kelamnya
kehidupan yang ia kecap, namun ia pun berhak merasakan kebahagiaan saat ia pertama
kali bertemu dengan Fitri, si gigi kelinci justru saat ia berupaya melarikan diri
dari masa lalunya yang kelam. Pertemuannya dengan si gigi kelinci kemudian
membuat hari-harinya berbeda – diliputi oleh cinta. Ray yang sama sekali tidak
pernah memiliki bayangan akan sebuah keluarga akhirnya bisa mulai merasakannya
saat ia menikah dengan gigi kelinci. Saat Ray mulai mengecap manisnya kehidupan
dengan menjalani enam tahun hidupnya bersama sang istri, ternyata ada rencana
lain untuk hidupnya: sang istri berpulang ke hadapanNya. Ray pun kembali
merutuki langit dan tenggelam dalam kesedihan. Namun ia tumbuh menjadi seorang
pria yang mapan dan menapaki karirnya yang semakin gemilang, walau ia merasa
hidupnya hampa sekalipun kini bergelimang harta, merutuki betapa tidak adilnya
hidup dan betapa hidupnya sesak dipenuhi oleh berbagai pertanyaan-pertanyaan,
yang kemudian menemukan jawabannya ketika ia terbaring sakit di usianya yang 60
tahun. Betapa semua yang menimpanya dan orang-orang yang ada di sekitarnya,
yang dikenalnya dengan baik, juga yang tidak dikenalnya, memiliki keterkaitan
satu sama lain.
Novel ini
merupakan novel yang membuat saya merenung lama, lama sekali untuk kemudian
meresapi apa saja yang tertulis dalam novel ini. Saya pun masih kebingungan
untuk mengungkapkan bagaimana persisnya perasaan saya setelah membaca novel ini
(mungkin saya memang tak berbakat untuk menunjukkan perasaan *menyisipkan
curhatan sedikit boleh, ya?* hehe), Namun yang jelas dari novel yang tebalnya
426 halaman saya belajar untuk terus bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. membuat kita belajar menapaki kehidupan lebih baik lagi, tak peduli
seberapa kelam masa lalu kita, dan membuat kita belajar akan sebuah
penerimaan yang indah terhadap apa yang terjadi dalam kehidupan kita.
Juga untuk selalu ingat bahwa setiap apa yang terjadi memiliki alasannya untuk
terjadi, suka atau tidak suka, dan betapa kehidupanmu juga mempengaruhi
kehidupan orang lain, saling melilit, saling menjalin.
Karakter Ray juga
seperti hidup dalam kehidupan saya. Diceritakan bahwa Ray menapaki karirnya
sebagai mandor bangunan, sebelum akhirnya berjaya sebagai pebisnis dengan
perusahaan properti yang menggurita. Ray
memiliki kebiasaan berada di atap tertinggi gedungnya dan menatap rembulan,
karena dengan menatap rembulan seolah beban hidupnya ikut terangkat. Maka,
setiap kali melihat gedung tinggi yang tengah dibangun, saya selalu
membayangkan ada sosok Ray di puncak gedung itu, duduk di atap menatap
rembulan. Mungkin saya berlebihan, tapi tokoh Ray memang melekat dalam ingatan
saya dan seolah ada. Saya, yang juga gemar menatap rembulan dan langit kerap juga merasakan seolah apa yang membebani terangkat begitu saja seperti meneruskan
kebiasaan Ray dan menanti sampai saya
merasa tak perlu lagi menatap rembulan sendirian dengan penuh beban.
“Kau tahu, aku
paling suka menyaksikan rembulan seperti ini sejak kecil, yang. Entahlah aku tidak mengerti apa yang terjadi setiap aku
melihat rembulan. Tapi aku selalu merasakan damai menatapnya. Tenteram.”
(halaman 294)
“Rembulan ini
selalu membuatku sejenak bisa melupakan banyak masalah. Semakin sesak apa yang
kupikirkan, makin semakin sering aku duduk menatapnya, mengadu. Kau tahu, dua tahun terahir bersamamu, aku tidak
merasa lagi perlu menatap rembulan.” (halaman 294-295)
12 November 2013
pukul 03:45
0 komentar:
Posting Komentar