"Mbak, ternyata tukang yang ngedandanin rumah kita ini tukang koran papi dulu. Kamu masih inget gak?" Sepulang kerja dengan keadaan rumah yang lumayan seperti kapal pecah karena rumah sedang didandani, saya sudah dibrondong pertanyaan oleh mami. Saya sempat bertemu dengan tukang kemarin pagi, tentu saya tidak ingat sama sekali dengan tukang tersebut. "Tukangnya tadi bilangin kamu dulu masih kecil, sekarang udah gede ya bu... terus jadi tanya-tanya deh" Nah, apalagi mungkin saya bertemu dengan tukang itu saat saya masih kecil, mungkin saat saya hanya menggunakan kaos dalam saat di rumah, dan tukang koran itu mengantarkan koran pesanan papi, juga majalah Bobo setiap minggu. "Oh iya, tukang yang nganterin majalah Bobo kan?" Saya ingat saat saya masih kecil, papi menawarkan untuk berlangganan majalah Bobo, dan tentunya saya menyambutnya dengan gembira. Saya hanya ingat peristiwa itu, tidak ingat dengan tukang korannya. Dan kali ini saya juga tidak menceritakan tentang tukang koran, saya tidak tahu menahu tentangnya. Saya akan bercerita tentang koran, kenangan, dan pengharapan.
Koran terbitan hari ini tergeletak di tempat tidur. Tumben sekali ada koran edisi terbaru di rumah. Biasanya koran yang ada di rumah merupakan edisi lama yang dialihfungsikan untuk apa saja -- mengelap kaca, jadi alas lemari, jadi pembungkus, atau apapun yang diambil dari rumah saudara yang berlangganan koran. Ngomong-ngomong tentang langganan koran, menilik dari cerita di paragraf atas saya jadi menghitung kapan terakhir kali berlangganan koran -- sepertinya tiga belas tahun yang lalu, waktu yang lama ya! Sejak berhenti berlangganan koran, saya pun jarang sekali membeli koran. Tak tahulah kenapa saya malas membeli koran, padahal harganya murah sekali. Kalau membacanya, tiap kali ada koran yang tergeletak pasti saya baca. Walau saya membacanya secara acak, mencari kolom berita yang saya suka saja untuk dibaca pertama kali (biasanya berita seputar olahraga --sepak bola, atau entertainment). Atau hanya menyisir kolom-kolom berita di koran tanpa membacanya lebih lanjut. Benar-benar seenaknya saja dan sesuka hatinya dalam membaca koran.
Di zaman sekarang yang serba canggih, berita dapat diakses secara online dengan cepat dan mudah, mungkin keberadaan koran menjadi tersingkirkan. Tapi kelak saya ingin berlangganan koran. Karena buat saya, koran tetap punya nilai tersendiri, nilai emosional kalau saya bisa bilang. Karena saat melihat koran yang tergeletak di kamar (sehabis dibaca mami) dan mengingat pertemuan kembali dengan tukang koran papi, membuat saya teringat sesosok pria yang suka membaca koran dengan bantuan kacamata, ya, papi saya. Sudah lama tentu saya tidak melihat sesosok pria tengah membaca koran di rumah. Mungkin kelak, saya bisa melihat kembali sosok pria membaca koran di teras rumah, menyeruput teh hangat, sambil mengobrol bersama setiap harinya, menumbuhkan getar-getar cinta di dada. Tentu saja, koran harian menjadi saksi bertumbuhnya rasa dan kebahagiaan dalam dua jiwa itu.
August 27, 2013
10:28 p.m.
0 komentar:
Posting Komentar