Gorden di kamar saya itu selalu dalam keadaan terbuka. Saya tidak terbiasa untuk menutup apapun saat saya ada di dalam kamar, juga saat tidur. Pintu di kamar selalu terbuka, juga gorden di jendela yang seperti jadi penghias saja. Bukan apa-apa, jika pintu dan gordennya ditutup, saya akan merasa pengap dan gerah. Dengan membukanya, membuat saya merasa lapang dan luas. Pun saat berganti baju, saya kerap tidak menutup pintu, juga gorden yang hampir selalu ada di pinggir jendela, tidak pernah terentang menutupi isi kamar. Sampai pada suatu kesempatan, saya harus merentangkan gorden itu.
"Tante, ganti dong bajunya. Kan mau pergi..." Setiap pulang kerja, saat sedang ada di rumah ponakan saya yang berumur empat tahun selalu ribut meminta saya mengganti baju. Awalnya saya pikir kenapalah dia ini rusuh sekali nyuruh-nyuruh saya berganti baju. Mungkin dia risih karena melihat saya sepulang kerja: terlihat lusuh dan gak fresh di matanya. Saya pun masuk kamar dan mengganti baju dengan pakaian dinas : daster kesayangan. Tentu tanpa menutup pintu, apalagi gorden yang betah di tepian itu. Ternyata, saat berganti baju, ponakan saya itu suka menelusup masuk ke kamar. Saya sebenarnya biasa saja, dan menganggap anak umur segitu rasa ingin tahunya tinggi. Namun ponakan saya sering sekali begitu setiap kali ke rumah, walaupun sudah dibilang untuk tidak masuk saat ada yang ganti baju, tetap saja dia lakukan. sampai mami dan kakak saya mengingatkan untuk menutup pintu saat berganti baju.
Maka di suatu kesempatan berganti baju dan ada ponakan saya di rumah, saya menutup pintu. Tadinya ponakan saya masih mecoba untuk ikut masuk ke kamar, tapi saya menahannya. Namun ia tak kehabisan akal. Ia berjalan ke sisi jendela dan berjinjit melihat saya. Gorden saat itu belum saya tutup. Saya geli melihat tingkah ponakan saya itu: ada saja akalnya. Saat saya akhirnya menutup pintu, juga gorden, ponakan saya tetap tidak menghentikan aksi ingin tahunya: dengan mengintip dari gorden yang tentunya mudah ditarik, dan karenanya, saya pun jadi ikutan menahan gorden, menahan rasa ingin tahunya yang sulit untuk dijelaskan kenapa dia tidak boleh melihat ke dalam kamar saat ada yang berganti baju.
Saya mencoba memahami apa yang dirasakan ponakan saya itu. Dia tentu ingin tahu, ingin tahu kenapa dia tidak boleh masuk dan melihat ke dalam kamar, tapi rasanya masih sulit untuk menjelaskan mengapa tidak boleh, sehingga kita hanya bisa menutupinya. Terkadang, kita pun juga menemukan hal-hal seperti itu: ada hal-hal yang bagi orang tersebut perlu untuk ditutupi dan tidak diketahui, tapi bagi orang lain melihatnya sebagai hal yang perlu dibagi. Misal: saat ada yang menutupi sesuatu dari kita, dan jatuhnya jadi berbohong. Kita pasti sebal, marah, dan kecewa saat orang tersebut menutupi sesuatu dari kita, terlebih orang tersebut sudah dekat dan suka berbagi cerita. Beribu pertanyaan muncul : kenapa sampai ditutup-tutupi segala? Bukankah biasanya berbagi cerita? Apa dia merasa saya ini tidak bisa dipercaya? Apa ada yang akan menyakitkan saya dari hal yang dia tutupi? Namun, buat saya saat kita ada di posisi orang yang tidak boleh tahu, makan mungkin memang sebaiknya kita tidak untuk mengetahuinya. Walau rasanya jadi penasaran, tapi percaya, setiap apapun yang terjadi pasti ada alasan, ada sebab akibatnya. Dan untuk hal-hal yang tidak kita ketahui, seberapa pun penasarannya kita, mungkin memang lebih baik untuk tidak diketahui. Berprasangka baik saja.
Gorden di kamar sedang berkumpul di tepian, tidak terentang. Malam ini terasa gerah, membuka gorden membuat saya bisa merasakan udara sesekali mampir melalui celah jendela. Saya tidak ingin menutup gorden saya saat saya tidur, cukup saya perlu menutupnya saat berganti baju saja.
August 31th, 2013
10:16 p.m.