Memasuki hari ketiga proyek
#5BukuDalamHidupku #5BukuDalamHidupku membuat saya dilanda kegamangan. Saya telah dengan mantap
memutuskan buku pertama, buku kedua yang buat saya tidak bisa lepas dan
berkaitan dengan buku pertama), dan buku terakhir yang sudah dengan bulat saya
tentukan, tidak bisa digugat lagi posisinya. Maka untuk mengisi buku
pertengahan ini, saya benar-benar dibuat pusing. Menilik apa saja yang telah
dituliskan orang-orang dan juga penggagas ide ini, mas Irwan, yang telah
menuliskan buku-buku yang menurut saya keren sekali (buku pertama mas Irwan adalah Sang Penyair, yang kemudian membuatnya mengingat akan cita-cita kepenyairannya
yang kini tengah ia jalani dan perjuangkan, dan di buku keduanya ia memilih Patimura *oh, bisa-bisanya dia menemukan buku yang keren dan memaknainya
sedalam itu), sementara di masa remaja saya isi dengan membaca teenlit! Maka saya pun kembali gundah dengan pilihan
buku untuk menempati posisi pertengahan ini. Lama menimbang-nimbang apakah saya
akan memasukkan teenlit/chicklit sebagai
buku yang berpengaruh dalam hidup saya, mengingat rasa-rasanya teenlit/chicklit hanyalah bacaan
haha-hihi, membacanya sekadar untuk kesenangan, juga kurang “bergizi” (maafkan
jika sekarang saya bisa mengatakan ini padahal sempat memuja-muja teenlit dengan segala isi ceritanya).
Namun, sejarah tak dapat dibelokkan, fakta tak bisa ditutup-tutupi dan akan
mencuat ke permukaan, maka saya pun (akhirnya) memutuskan untuk memasukkan teenlit sebagai buku yang memberikan
pengaruh buat saya, karena saya memang tumbuh dan mengisi masa-masa remaja saya
dengan bertemankan (dan bahkan berpandukan) teenlit.
Cukup banyak teenlit (dalam negeri) yang
saya baca dan masih berjejer rapi di lemari buku. Saya pun pernah kembali iseng
membacanya ulang, dan saya pun tertawa-tawa sendiri dibuatnya, demi mengingat
betapa (tadinya) teenlit ini
benar-benar saya suka karena seolah menceritakan kehidupan saya (saat itu),
yang menurut saya teenlit itu
merupakan bacaan terkeren sejagat raya hanya karena penggalan ceritanya yang
mirip dengan kisah saya, atau kisah perncintaan di teenlit yang membuat saya mupeng
ingin mencicipi cinta :D. Betapa kini bacaan itu posisinya telah jauh
tergeser, tidak lagi menempati posisi sebagai “buku terkeren sejagat raya”.
Saat mengunjungi toko buku dan menemukan
jajaran teenlit dengan cover baru pun saya tak henti-hentinya
tersenyum : “ya ampun, buku ini nih ya! Buku itu tuh ya!” Saya geli
membayangkan betapa dulu, pada masanya, saya mengagung-agungkan bacaan
tersebut. Namun saya tetap merasa keren karena mempunyai buku-buku tersebut
dengan cover lama yang menurut saya
lebih oke dan mentereng. Oh ya, saya memang selalu merasa keren sendiri hanya
karena membaca buku-buku! :D
Juga ketika ponakan-ponakan saya berkunjung ke
rumah dan meminjam teenlit , dan
kemudian harinya saya terperangkap dalam obrolan mereka seputar teenlit yang mereka pinjam dari saya dan
mereka baca secara bergiliran : “duh ya…yang ini ceritanya gue banget, ya!”
Lagi-lagi, urusan teenlit benar-benar
urusan yang membuat saya tertawa lepas , “that
was soo yesterday!” “But still, this funny feeling won’t go away”ß
(bagian ini juga merupakan kutipan teenlit loh!) Ya, teenlit (juga chicklit) bisa saja dikategorikan
sebagai bacaan haha-hihi, bacaan yang menyenangkan dan menjanjikan masa depan
percintaan yang indah (karena hampir di tiap akhir ceritanya akan berujung
indah), juga menjadikan bacaan macam ini menjadi “kurang bergizi” dibandingkan
dengan novel nyastra seperti
karya-karya Dewi Lestari, Ayu Utami, Fira Basuki, dan sederet penulis lainnya.
Tapi hey, cobalah simak kisah saya yang memecahkan kesunyian di ruang kelas
karena menjawab pertanyaan yang dilempar begitu saja oleh dosen berdasarkan apa
yang pernah saya baca, teenlit!
Paperback, 260 pages
Published 2005 by GagasMedia (first published 2004)
original title
Cintapuccino
ISBN
9793600225 (ISBN13: 9789793600222)
edition language
Indonesian
(diambil dari goodreads.com)
Buat para pecinta teenlit di era 2000-an, pastinya tak
asing lagi dengan buku satu ini. Cintapuccino, di sampul buku ini tertera
sebagai “chicklit asli Indonesia” (namun saya lebih suka menyebutnya sebagai teenlit dan sudah, jangan dibuat pusing,
ya?). Buku ini pun digadang-gadang sebagai pioner chicklit / teenlit Indonesia, maka saya pun tergoda untuk
membacanya juga setelah kawan saya semasa SMA tak henti-hentinya membicarakan
buku ini , “Duh Git…baca deh! Bagus banget, nget,
nget!” Begitulah. Akhirnya saya pun
mendaftar untuk meminjam buku tersebut pada teman saya. Saya pun mengantri
untuk mendapat giliran membaca buku yang konon katanya, bagus banget. Dan
setelah selesai membacanya, saya pun masuk dalam arus pusaran pemuja
Cintapuccino garis keras, dan berkomentar layaknya ponakan-ponakan saya
sekarang yang membaca teenlit : “ini
ceritanya gue banget, ya!”
Haruskah saya memaparkan
bagaimana isi ceritanya? Namun saya geli sendiri jika harus menceritakan isi
buku ini yang sempat saya labeli sebagai “cerita gue banget” ini. (Atau mungkin
jika nanti ada kesempatan dan ada yang merajuk minta diceritakan *ngarep
banget, sih*, saya akan menceritakannya) Di kesempatan kali ini, saya akan
menceritakan bagaimana bisa teenlit
yang bisa dikatakan bacaan haha-hihi berpengaruh buat saya, bahkan mampu
mengubah hidup saya? Maka, di sinilah kisah itu dimulai.
Saat itu saya tengah berada dalam
ruangan lab bahasa di mana saya dan teman-teman saya akan mengikuti kelas salah satu mata kuliah dasar. Kami semua berstatus sebagai
mahasiswa baru kala itu dan sebagai mahasiswa baru, pastinya kami masih dalam
masa peralihan dari siswa menjadi mahasiswa, dari remaja ke dewasa, dari yang
tadinya cablak menjadi mendadak pendiam saat sudah memasuki kelas dan menyimak
celotehan dosen yang terlihat sangat, sangat intelek dan keren, jauh dari
mahasiswanya yang masih di awang-awang dalam gamangnya pemikiran, seperti:
“inikah pilihan hidup saya? Inikah jurusan kuliah yang saya inginkan?” Atau,
“saya ingin kabur dari kelas ini!”. Dan beragam pemikiran entahlah lainnya.
Maka, di kelas-kelas perkuliahan pada masa awal, akan selalu tercipta
keheningan dan hanya ada satu suara : celotehan dosen, atau ditambah celotehan
temporal lainnya: seperti permisi ke luar atau ke kamar kecil.
Namun hari itu menjadi berbeda,
setidaknya bagi saya. Saat mengikuti perkuliahan , saya mendapati sesosok dosen yang tak asing lagi : beliau adalah guru SMA
saya. Di mata kuliah itu tidak tertera namanya, namun kala itu ternyata beliau
yang baru pulang dari sekolahnya di benua orang akan mengisi mata kuliah
tersebut. Kemudian, tak jelas apa pasalnya di kelas mata kuliah dasar itu beliau malah memaparkan konsep pengembangan diri. Kurang
lebih begini : “Jadi, kita bisa mengenali apa saja potensi yang ada di diri
kita dengan menganalisisnya dengan berbagai macam konsep. Ada teori
bla..bla..blaa… ada teori analisis SWOT. Nah, ada yang tahu teori analisis
SWOT?” Seperti di kelas-kelas lainnya, hanya suara pak dosen bergaung sendirian
di ruang kelas. Setelah beliau melemparkan pertanyaan dan berhenti berbicara
untuk memberikan kesempatan pada mahasiswanya, seketika ruang itu menjadi
sunyi. Tapi kesunyian tidak berlangsung di dalam benak saya demi mendengar
perkataan pak dosen : “Oh, apa tadi?
Analisis SWOT? Oh, itu yang di Cintapuccino itu bukan, sih? Yang waktu Rahmi
nganalisis peluangnya buat dapetin Nimo?” Sebagai pembaca Cintapuccino garis keras, saya tentu
hapal isi ceritanya. Saya hapal dengan tindak tanduk Rahmi yang teramat amat
sangat terobsesi dengan cinta pertamanya, Nimo. Kemudian terdengar suara lagi,
masih dari pak dosen : “ayo, ada yang tahu? Teori SWOT ini populer, loh. SWOT
ini merupakan singkatan.” Ah ya,
sepertinya tak salah lagi! Tapi saya masih belum berani untuk menjawabnya.
Namun, entah apa yang terjadi, tiba-tiba saya merasakan tangan saya terangkat ke
atas, dan saat saya ingin menurunkannya, pak dosen sudah menangkap mata saya : “Yak,
silakan jawab.” Maka, saya pun memecah kesunyian di kelas dengan suara saya
yang agak parau, antara ragu-ragu malu mau kabur saja, “Emm…jadi analisis SWOT
itu ya kita menganalisis sesuatu lewat SWOT. SWOT itu sendiri terdiri dari Strength atau kekuatan, Weaknesses atau kelemahan, Opportunity atau peluang, dan Threats atau ancaman. Dengan begitu kita
bisa menggali potensi kita dengan melihat apa yang menjadi kekuatan kita dan
menyadari kelemahan kita, lalu melihat sejauh mana peluang kita, juga menganalisis
kemungkinan ancaman sehingga kita bisa antisipasi.” (Tentu, saya tidak menjawab
serunut dan sepanjang itu, deskripsi tersebut hanya dalam upaya agar terlihat
keren saja :D). “Yak, betul begitu.” Ujar dosen saya yang kemudian kembali lagi
memantulkan gaung suara di kelas sampai kelas hari itu berakhir.
Seusai kelas mata kuliah dasar yang berubah menjadi kelas pengembangan diri hari itu,
saya masih merasa heran sekaligus terpukau : “bagaimana bisa saya berhasil
memecahkan kesunyian di kelas dengan menjawab pertanyaan berdasarkan bacaan
ketika saya masih remaja dan labil-labilnya?” Seusai kelas itu pun, beberapa
teman saya mendekati saya dan bertanya : “Lo tahu tentang SWOT dari mana, Git?
Baca buku apaan?” Seketika saya pun tersenyum, mungkin mereka memiliki
ekspektasi bahwa saya akan menyebut buku tertentu yang keren dan sudah membaca literatur
yang berkaitan dengan materi kuliah, dan dengan santai juga geli saya
menjawabnya, “dapet baca dari teenlit!”
Jangan tanyakan bagaimana buku
ini memberi pengaruh dalam kehidupan remaja saya. Jangan tanyakan bagaimana
saya kemudian ikut menamai “my crush, my
obsession” sebagai Nimo. Jangan tanyakan bagaimana saya ingin mengajak tos Icha
(penulis Cintapuccino) untuk apa yang ia paparkan mengenai Rahmi yang mendadak
langsung berasa kucel setiap kali ketemu Nimo, mendadak susah napas di ujung pembicaraan
telepon dengan Nimo. Jangan tanyakan bagaimana dalam cerita saya, saya selalu
menyebut “Nimo, Nimo, Nimo…. finding my Nimo!”
(Bahkan teman saya sampai ada yang rela menguntit dan memfoto Nimo saat bertemu “my Nimo” yang sebenarnya belum pernah mereka temui, tapi karena
seringnya saya bercerita berulang-ulang tentang “my crush, my obsession”, membuat teman-teman saya itu saat melihat
seseorang di toko buku merasa seperti apa yang selama ini selalu saya
ceritakan, dan ternyata memang benaar : Finally
my friends recognized and met “my Nimo”!), dan berbagai macam kekonyolan
yang lain.
Namun di atas itu semua, alasan kuat yang
membawa saya menempatkan Cintapuccino dalam #5BukuDalamHidupku sebab buku ini
menjadi penguat saya untuk semakin mencintai apa yang telah menjadi kegemaran saya yang tertanam sejak kecil, yaitu membaca
buku. Tak ada lagi alasan untuk tak suka membaca. Bahwa dengan membaca kita
mendapatkan banyak hal: dengan membaca kita bisa merasakan kesenangan, suka
cita, wawasan kita menjadi terbuka, banyak mendapatkan sesuatu, membuat kita
terus belajar dari sebuah bacaan. Ya, membaca apa saja pasti akan meninggalkan
manfaat yang banyak sekali untuk kita. Seperti saya yang secara tak tertuga
bisa menjawab teori SWOT hanya karena saya membaca teenlit yang katakanlah “kurang bergizi”. Namun, sekali lagi,
bacalah sebanyak-banyaknya, apapun itu : buku cerita anak-anak, komik, novel, teenlit, chicklit, buku resep, koran,
buku pelajaran, tidak akan ada ruginya menanamkan kebiasaan membaca. Dan karena
kejadian pecahnya kesunyian di kelas karena teenlit
itu mengubah hidup saya karena sontak membuat saya merasa keren sekali akan
kegemaran saya membaca (tak pernah saya merasa sekeren saat itu sebagai
pembaca), saya pun berjanji untuk semakin banyak lagi membaca, dan sampai
sekarang saya masih gemar membaca, walau sangat disayangkan, kala itu saya tak
gemar membaca buku-buku kuliah saya.
14 November 2013
Pukul 20:21 WIB