Ada yang unik dari dua manusia itu. Setelah dipertemukan
dalam obrolan yang tak jelas juntrungannya, yang kemudian berlanjut ke
obrolan-obrolan berikutnya, entah bagaimana akhirnya dua manusia itu pun saling
tertarik untuk mengenali satu sama lain. Lucu juga mengingat awalnya dua
manusia ini merupakan orang asing yang terbawa dalam arus obrolan di belahan dunia
antah berantah, namun akhirnya mereka malah berani-beraninya menantang diri
untuk menjadi dekat. Seiring berjalannya waktu, mereka pun menemui bahwa mereka
memiliki kesamaan-kesamaan : sama-sama suka mendengarkan musik Sheila on 7,
suka membaca, dan suka iseng. Mereka juga bisa saling melengkapi. Seperti yang
satunya tukang masak, dan yang satunya lagi tukang makan, atau yang satunya suka
(namun juga suka malas) menulis, sementara yang satunya lebih parah malasnya perihal menulis, tapi kerjanya suka sekali menyuruh-nyuruh yang satunya untuk menulis
agar ia mendapatkan bacaan gratis. Dan tak jarang, mereka juga dihadapkan dengan
perbedaan-perbedaan: seperti yang satunya terkesan cuek, tapi yang satunya lagi
seperti kurang kerjaan dengan mencurahkan perhatian, yang satunya ritme
hidupnya berantakan, namun yang satunya lagi lebih suka dengan keteraturan,
juga sekali pun mereka suka membaca, namun ternyata tipe bacaannya berbeda
sekalipun tema ceritanya sama : tentang detektif. Dan mereka pun pernah
terlibat lagi-lagi dalam percakapan yang tak seberapa penting, tentang bacaan
kesukaan mereka masing-masing.
Di sebuah rental komputer dan buku, sang pria berdiri di depan
jajaran buku-buku yang tersusun di dalam sebuah lemari. Hampir selalu dia akan
berada di situ, lama berdiri memilah-milah buku, walau kemudian yang diambilnya
pastilah buku yang sejenis itulah. “Pinjam buku ini, yaa!” Lagi-lagi buku Agatha
Christie. Sang wanita pun jadi curiga sendiri akan kunjungannya ke rumah, yang juga terdapat rental komputer dan buku, besar kemungkinan untuk berburu Agatha
Christie. “Kamu baca ini juga, dong! Masa suka Conan malah gak baca beginian.”
Sang pria acap kali mengatakan itu, namun sang wanita dengan polos menjawab, “Ogah,
ah! Baca nama tokohnya aja udah ribet.” “Haha..dasar!” Kemudian sang pria pun
mengambil posisi duduk dan membuka-buka buku yang dipilihnya. Terkadang
langsung dibaca, kadang langsung dimasukkan ke tasnya untuk nanti dibaca. Jika
sang pria langsung membacanya di tempat, maka sang wanita pun ikut-ikutan sibuk
memilih buku di lemari itu, walau hampir semua buku tersebut sudah dibacanya.
Kala itu sang wanita memilih komik detective Conan dan membacanya secara acak.
Maka, berbicaralah dua manusia itu dalam dunia imajinasi masing-masing yang
telah dibangun oleh buku yang mereka pegang, sampai kemudian terdengar suara yang
keluar, “tell me how to read a comic.. gak
ngerti deh aku?” Sang wanita pun mengernyitkan dahi. Ini maksudnya apa sih, bukankah
tadi sedang asyik menikmati bacaan masing-masing, kenapa pakai acara tanya-tanya
yang tak penting “Lah, ya tinggal dibaca aja kata-katanya.” “Emangnya gak
pusing? Ribet ah baca komik..” Ia pun menutup komiknya, yang sebenarnya sudah
pernah dibacanya, demi fokus menjawab pertanyaan sang pria “Enggak pusing, kok.
Coba deh..” Sang pria pun mengambil komik Conan yang disodorkan sang wanita,
membolak-balik kertas, kemudian berkata, “enggak, ah. Ribet!”
Lalu di lain kesempatan, masih di depan jajaran buku-buku, kali
ini sang pria meraih novel The Gogons-nya Tere Liye, lalu sang wanita
berkomentar, “nah, itu buku bagus, tuh!” Sang pria pun memasukkan bukunya ke
dalam tasnya, dan sang wanita tak perlu lagi sibuk mencari-cari buku apa yang
juga akan dibacanya. Kemudian sang wanita berkata, “mana bacaan buatku?
Buku-buku ini sudah semuanya kubaca,
kecuali Agatha Christie, ya! Hehehe.” Sebenarnya, ‘bacaan buatku’ itu lebih
merujuk pada tulisan-tulisan dia—tulisan-tulisan mentah yang suka dikirimkan
lewat e-mail atau di sosmed. “Iya, ini nih ada!” Ada dua tulisan yang
disodorkannya, namun bukan tulisan karyanya. Dan apa yang diberikannya,
kemudian baru dibaca sang wanita beberapa bulan kemudian, saat mereka sudah
tidak lagi terlibat dalam percakapan-percakapan tak penting, saat mereka
kembali menjadi orang asing dan berjalan masing-masing.
*******
Perahu Kertas menjadi karya pertama Dewi Lestari yang saya baca. Sebenarnya sudah tertarik untuk membaca karya-karya Dee, namun baru berkesempatan membacanya pada September tahun lalu. Setelahnya, saya pun jadi berburu karya Dee yang lainnya : dan baru memiliki Filosofi Kopi dan Rectoverso. Tentu ingin juga punya serial Supernova, tapi sepertinya perlu bersabar dan rajin menabung dulu, ya :D mengingat masih banyak buku-buku yang tengah saya buru. Kembali lagi ke Perahu Kertas, di sini saya tak mau memaparkan bagaimana isi ceritanya (bukan tak mau, tapi lebih karena energi saya sudah terkuras untuk menulis paparan di atas). Maka, jika ditanya urutkan karya Dee yang kamu suka, saya akan jawab Filosofi Kopi dan Rectoverso, baru kemudian Perahu Kertas. Lalu, jika ditanya mana karya Dee yang berkesan buatmu, maka ya, benar sekali, jawabannya adalah Perahu Kertas. Lantas, apa yang membuatmu memasukkan Perahu Kertas sebagai buku keempat #5BukuDalamHidupku : karena buku inilah yang menjadi awal ketertarikan saya dengan karya Dee yang kemudian memasukkannya dalam daftar penulis favorit. Juga, yang tak (kalah) penting, dari buku ini saya bisa menemukan sisi lain seseorang dan ingin tertawa demi membayangkan ternyata ada yaa seseorang yang (sempat) saya kenal dengan baik menyukai karya Dee, seseorang yang terkesan cuek itu, yang berantakan itu, si rebel itu! Oh, bagaimana bisa? Sayangnya, saya malah baru tahu belakangan tanpa sempat membahasnya.
“Bersama kamu, aku tidak
takut lagi menjadi pemimpi.”
Sebelum itu, maka bermimpilah
ia untuk bisa terbawa lagi dalam arus
obrolan tak penting itu, membahas apa saja. Mungkin bisa dimulai dari
pertanyaan: “apakah kamu pemuja Dee?” Lalu bermimpilah ia lagi, sampai semua kembali menjelma nyata. Walau seharusnya ia ingat, bahwa di masa silam apa yang
sekarang diimpikannya pernah terjadi.
15 November 2013
pukul 22:57 WIB
0 komentar:
Posting Komentar