Social Icons

Pages

Sabtu, 31 Agustus 2013

Gorden



Gorden di kamar saya itu selalu dalam keadaan terbuka. Saya tidak terbiasa untuk menutup apapun saat saya ada di dalam kamar, juga saat tidur. Pintu di kamar selalu terbuka, juga gorden di jendela yang seperti jadi penghias saja. Bukan apa-apa, jika pintu dan gordennya ditutup, saya akan merasa pengap dan gerah. Dengan membukanya, membuat saya merasa lapang dan luas. Pun saat berganti baju, saya kerap tidak menutup pintu, juga gorden yang hampir selalu ada di pinggir jendela, tidak pernah terentang menutupi isi kamar. Sampai pada suatu kesempatan, saya harus merentangkan gorden itu.


"Tante, ganti dong bajunya. Kan mau pergi..." Setiap pulang kerja, saat sedang ada di rumah ponakan saya yang berumur empat tahun selalu ribut meminta saya mengganti baju. Awalnya saya pikir kenapalah dia ini rusuh sekali nyuruh-nyuruh saya berganti baju. Mungkin dia risih karena melihat saya sepulang kerja: terlihat lusuh dan gak fresh di matanya. Saya pun masuk kamar dan mengganti baju dengan pakaian dinas : daster kesayangan. Tentu tanpa menutup pintu, apalagi gorden yang betah di tepian itu. Ternyata, saat berganti baju, ponakan saya itu suka menelusup masuk ke kamar. Saya sebenarnya biasa saja, dan menganggap anak umur segitu rasa ingin tahunya tinggi. Namun ponakan saya sering sekali begitu setiap kali ke rumah, walaupun sudah dibilang untuk tidak masuk saat ada yang ganti baju, tetap saja dia lakukan. sampai mami dan kakak saya mengingatkan untuk menutup pintu saat berganti baju.

Maka di suatu kesempatan berganti baju dan ada ponakan saya di rumah, saya menutup pintu. Tadinya ponakan saya masih mecoba untuk ikut masuk ke kamar, tapi saya menahannya. Namun ia tak kehabisan akal. Ia berjalan ke sisi jendela dan berjinjit melihat saya. Gorden saat itu belum saya tutup. Saya geli melihat tingkah ponakan saya itu: ada saja akalnya. Saat saya akhirnya menutup pintu, juga gorden, ponakan saya tetap tidak menghentikan aksi ingin tahunya: dengan mengintip dari gorden yang tentunya mudah ditarik, dan karenanya, saya pun jadi ikutan menahan gorden, menahan rasa ingin tahunya yang sulit untuk dijelaskan kenapa dia tidak boleh melihat ke dalam kamar saat ada yang berganti baju.

Saya mencoba memahami apa yang dirasakan ponakan saya itu. Dia tentu ingin tahu, ingin tahu kenapa dia tidak boleh masuk dan melihat ke dalam kamar, tapi rasanya masih sulit untuk menjelaskan mengapa tidak boleh, sehingga kita hanya bisa menutupinya. Terkadang, kita pun juga menemukan hal-hal seperti itu: ada hal-hal yang bagi orang tersebut perlu untuk ditutupi dan tidak diketahui, tapi bagi orang lain melihatnya sebagai hal yang perlu dibagi. Misal: saat ada yang menutupi sesuatu dari kita, dan jatuhnya jadi berbohong. Kita pasti sebal, marah, dan kecewa saat orang tersebut menutupi sesuatu dari kita, terlebih orang tersebut sudah dekat dan suka berbagi cerita. Beribu pertanyaan muncul : kenapa sampai ditutup-tutupi segala? Bukankah biasanya berbagi cerita? Apa dia merasa saya ini tidak bisa dipercaya? Apa ada yang akan menyakitkan saya dari hal yang dia tutupi? Namun, buat saya saat kita ada di posisi orang yang tidak boleh tahu, makan mungkin memang sebaiknya kita tidak untuk mengetahuinya. Walau rasanya jadi penasaran, tapi percaya, setiap apapun yang terjadi pasti ada alasan, ada sebab akibatnya. Dan untuk hal-hal yang tidak kita ketahui, seberapa pun penasarannya kita, mungkin memang lebih baik untuk tidak diketahui. Berprasangka baik saja.

Gorden di kamar sedang berkumpul di tepian, tidak terentang. Malam ini terasa gerah, membuka gorden membuat saya bisa merasakan udara sesekali mampir melalui celah jendela. Saya tidak ingin menutup gorden saya saat saya tidur, cukup saya perlu menutupnya saat berganti baju saja.


August 31th, 2013
10:16 p.m.

Senja

Awan jingga Gelap kurasa di dadaLangitku meresah senduBayang dirimu menjauh
Biarkanlah cintaDiam dalam nadaHingga hariku berlaluBersama datangnya rinduMembawa semua mimpiku
Ku tahu di hati selalu ada dirimuTemani sepikuBersama senjaMenyimpan rasa ini sendiri
  


Cerita di balik lagu:

Saya tahu lagu ini dari postingan seorang teman di Path. Eh, bukan teman saya sih tepatnya, tapi dari om saya, dan saya tertarik dengan lagu ini karena............ yap, judulnya: senja. Siapa yang tidak cinta dengan keindahan senja? Dan lagu ini pun walau tidak bercerita seindah senja, tapi tetap saja menawan layaknya senja. Selamat menikmati senja dalam lantunan nada!


berhubung belum bisa menikmati senja berdua, jadi diwakilkan sama Sinichi dan Ran saja :)

Jumat, 30 Agustus 2013

Tempat Tidur

Sudah di hari penghujung mengikuti proyek #CeritaDariKamar, dan saya malah belum bercerita tentang benda yang selalu ada kamar, yang selalu setia menghuni kamar dan bersedia menopang kita, seberat apapun bobot badan kita. Ya, benda ini adalah tempat tidur. Sebenarnya saya juga bingung hendak bercerita apa, sesuatu yang beda tentang tempat tidur. Tempat tidur saya seperti kebanyakan tempat tidur yang lainnya, dengan model tempat tidur dua susun, berwarna pink dan bergambar rubah. Tempat tidur ini memang bernuansa anak-anak, tapi tetap saja tidak mengurangi kenyamanan dan kesediaannya untuk jadi tempat saya merebahkan badan, meletakkan letih, kantuk, segenap rasa lainnya, dan setelahnya saya bisa kembali merasa segar. Beruntung saya bukanlah tipikal orang yang susah tidur. Malah terlalu mudah untuk tidur. Jika saya bercerita saya tertidur di bus atau angkutan umum sekalipun, itu sudah menjadi hal yang biasa. Saya bisa tidur di mana saja, tanpa atau tentu dengan rasa ngantuk, tapi saya tentu lebih memilih untuk tidur di tempat tidur di kamar saya, tak peduli bagaimana pun keadaan kamar saya : rapikah atau berantakan, juga tak peduli bagaimana tempat tidurnya: berseprei atau tidak. 

Pernah saya dan teman-teman kerja ngobrol seputar tempat tidur. Tidak tahu apa awalnya pembicaraan sampai ke pembahasan tempat tidur, saat itu malah jadi asyik membicarakan tempat tidur.  Ada yang bilang kalau tidak bisa tidur sebelum kamarnya rapi. Dan punya kebiasaan tersendiri, dengan menumpuk bantal dan guling  di atas tempat tidur, sesuai dengan keinginannya. Ada yang bilang kalau suka tempat tidur dengan seprei yang wangi, bikin nyenyak tidur katanya. Saya jadi menilik ke diri saya sendiri, kok saya tidak punya syarat apa-apa untuk tempat tidur. Saya bahkan bisa tetap tidur, sama pulasnya saat tempat tidur saya berantakan, juga tidak berseprei. Terkadang saat masuk kamar, saya sudah terlalu capek, ngantuk, dan segera ingin tidur sehingga saya tidak mempermasalahkan keadaan tempat tidur saya. Kadang juga saya punya waktu untuk membereskan kamar, merapikan tempat tidur, tapi malah tidak saya manfaatkan, rasanya malas sekali membereskannya, hanya ingin langsung tidur saja. Ya, hal sesederhana apa pun kalau malas tidak akan jadi sederhana, selalu saja banyak alasannya. Harusnya untuk memerangi rasa malas, harus dilawan dengan sederhana pula : jangan malas!

 Oh ya, saya juga ingat akan obrolan teman saya yang sudah menikah dan berbicara tentang tempat tidur, dia yang selalu ingin rapi berbeda sekali dengan pasangannya yang cuek dan berantakan. Lucu ya, dua orang yang berbeda karakternya harus bersatu padu. Teman saya itu awalnya sebal dengan kelakuan suamiya. Tapi lama-lama karena melihat teman saya itu selalu rapi, membuat pasangannya menjadi mengikuti kebiasaan teman saya, yang selalu bersih dan rapi. Hhhm, mungkin saya pun akan begitu saat harus berbagi ruang kamar dengan dia-yang-kelak-jadi-pasangan-romantis-bahagia-sentosa-selama-lamanya, saat harus berbagi tempat tidur dengannya. Tak ada malas lagi untuk merapikan tempat tidur. Setuju? :)


lihat nih tempat tidurnya belum disepreiin. tapi nanti-nanti gak gini lagi,deh!nanti,iya nanti :D



Kamis, 29 Agustus 2013

Handphone

Saya memiliki handphone sejak kelas tiga SMA. Saat itu sudah mulai banyak teman-teman yang menggunakan handphone, sementara saya mesti bersabar mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk memiliki handphone. Ya, sejak kecil saya memang dididik untuk tidak selalu langsung mendapatkan apa yang diinginkan. Walau mungkin suatu hal yang saya inginkan itu dapat dengan mudah dipenuhi oleh orangtua, tapi saya selalu diajarkan untuk melewati suatu proses terlebih dahulu sebelum mendapatkan sesuatu. Maka untuk urusan handphone, butuh waktu yang cukup lama buat saya untuk mendapatkannya.

Hal ini pun berlaku juga untuk handphone saya yang satu ini, handphone ketiga saya yang dibeli dengan mengumpulkan uang dari gaji saya. Lumayan juga bisa membeli handphone yang juga bisa dipakai buat online, bisa memiliki beragam aplikasi sesuai keinginan. Walau begitu, makin ke sini saya malah jarang mengaktifkan layanan internet dari handphone, juga jarang berkomunikasi lewat handphone.

Saya telah memiliki handphone ini selama hampir sepuluh bulan. Handphone saya yang lama sebenarnya masih bisa berfungsi dengan baik, hanya saja saya ingin mengganti suasana dengan memiliki handphone baru.  Namun, dibanding dua handphone saya sebelumnya, handphone inilah yang belum punya chemistry yang kuat dengan saya. Begini, saya pernah tidak membawa handphone saat pergi seharian, dan saya merasa biasa saja, tidak khawatir akan ada yang menghubungi saya. Juga saat handphone saya tertinggal di tempat kerja dan disimpan teman saya. Waktu itu pernah handphone lama saya yang tertinggal dan saya minta tolong untuk handphone-nya diantarkan ke rumah saya. Tetapi dengan handphone ini tidak. Saya santai saja dan tidak meminta untuk diantarkan, karena saya tahu handphone
saya tenang-tenang saja. Dan memang begitu adanya. Tidak banyak nomor atau akun yang menghubungi saya. Sms dan telepon yang masuk seputaran teman-teman dan keluarga. Syukur saya juga jarang mendapatkan sms dan telepon yang menggangu. Buat saya, sms yang menganggu itu adalah sms pengingat dari kementrian (ya, entah kenapa saya kurang suka dengan sms-nya: terlalu perhatian namun tidak pas menurut saya), dan sms minta pulsa. Telepon yang menganggu itu datangnya dari tagihan kredit sepupu yang mencantumkan nomor telepon saya. Oh ya, sebenarnya kalau minta pulsa memang tepat sih dialamatkan ke saya, karena saya memang berjualan pulsa. Maka sms saya akhir-akhir ini kebanyakan seputaran minta kiriman pulsa (setelahnya tentu pada bayar yaa), sms dari tempat kerja, juga sms dari keluarga. Begitu pun telepon, hanya seputaran dari teman-teman, kerjaan, dan keluarga dan jarang pula.


Saya sebenarnya tengah heran: sekalipun handphone saya ini bisa membuat saya memilih aplikasi yang beragam,  sekalipun saya memasang wallpaper tokoh kesayangan, sekalipun saya memasukkan lagu-lagu kesukaan, memasang ringtone dengan nada menyenangkan, tapi tetap saja chemistry-nya belum muncul juga. Mungkin karena handphone ini belum berfungsi dengan baik sebagaimana seharusnya : sebagai alat untuk komunikasi, terutama berkomunikasi dengan orang-orang yang dikasihi.


Rabu, 28 Agustus 2013

Kaos Kaki Warna-Warni



Saya selalu memakai kaos kaki di saat keluar rumah sebelum mengenakan sandal atau sepatu. Memakai kaos kaki ini banyak manfaatnya: melindungi kaki dari alas kaki yang terkadang bikin sakit (apalagi kalau alas kakinya masih baru), sebagai sedikit ganjalan kalau sepatunya sedikit longgar (saya sering memakai trik ini), juga bisa sebagai bagian dari fashion. Saya pun tidak menyia-nyiakan kaos kaki untuk turut menunjang penampilan saya. Sebenarnya saya bukan orang yang peduli-peduli amat soal penampilan. Tapi kalau urusan kaos kaki, saya cukup memperhatikan pemakaian kaos kaki sesuai dengan warna baju yang dikenakan, biar terlihat matching gitu. Jika orang-orang suka memadupadankan busana yang dipakai dengan pemakaian tas, atau aksesoris, saya cukup di kaos kaki saja. Juga agar kaos kaki saya tidak tertukar dengan yang lainnya, terutama di tempat kerja.

Di tempat kerja saya yang mayoritas perempuan semua juga pada mengenakan kaos kaki. Warna kaos kaki yang kebanyakan cokelat membuat kita kadang mencari-cari yang mana yang kaos kaki kita. Pernah suatu waktu, kaos kaki saya dan teman saya tergeletak begitu saja dan berdekatan, merek kaos kakinya pun sama karena kita beli grosiran. Jadilah teman saya nekat untuk mencium bau kaos kakinya yang (katanya) khas (dan saya pun heran khas-nya itu dimananyaa?). Karena suka tertukar begitu, maka saya mencari kaos kaki yang berwarna-warni agar beda, walau saya juga punya banyak kaos kaki warna cokelat.

Saya memiliki kaos kaki dengan beragam warna, ada yang merah, merah jambu, hijau tosca, dan orange. Saya akan memakai kaos kaki sesuai dengan busana yang saya pakai. Seringkali teman-teman kerja yang suka berkomentar kalau saya selalu matching, walau yang matching cuma sekadar baju dan kaos kakinya. Bukan apa-apa, kalau mau bikin matching dari warna busana, tas, sampe aksesoris yang digunakan makan biaya juga, ya! Jadi saya pilih untuk  tampil beda cukup memadupadankan baju dengan kaos kaki saja. That's my choice to be different, even it comes only from pairs of colorful shocks! 


August 28, 2013
11:34 p.m.

Selasa, 27 Agustus 2013

Koran Harian

"Mbak, ternyata tukang yang ngedandanin rumah kita ini tukang koran papi dulu. Kamu masih inget gak?" Sepulang kerja dengan keadaan rumah yang lumayan seperti kapal pecah karena rumah sedang didandani, saya sudah dibrondong pertanyaan oleh mami. Saya sempat bertemu dengan tukang kemarin pagi, tentu saya tidak ingat sama sekali dengan tukang tersebut. "Tukangnya tadi bilangin kamu dulu masih kecil, sekarang udah gede ya bu... terus jadi tanya-tanya deh" Nah, apalagi mungkin saya bertemu dengan tukang itu saat saya masih kecil, mungkin saat saya hanya menggunakan kaos dalam saat di rumah, dan tukang koran itu mengantarkan koran pesanan papi, juga majalah Bobo setiap minggu. "Oh iya, tukang yang nganterin majalah Bobo kan?" Saya ingat saat saya masih kecil, papi menawarkan untuk berlangganan majalah Bobo, dan tentunya saya menyambutnya dengan gembira. Saya hanya ingat peristiwa itu, tidak ingat dengan tukang korannya. Dan kali ini saya juga tidak menceritakan tentang tukang koran, saya tidak tahu menahu tentangnya. Saya akan bercerita tentang koran, kenangan, dan pengharapan.




Koran terbitan hari ini tergeletak di tempat tidur. Tumben sekali ada koran edisi terbaru di rumah. Biasanya koran yang ada di rumah merupakan edisi lama yang dialihfungsikan untuk apa saja -- mengelap kaca, jadi alas lemari, jadi pembungkus, atau apapun yang diambil dari rumah saudara yang berlangganan koran. Ngomong-ngomong tentang langganan koran, menilik dari cerita di paragraf atas saya jadi menghitung kapan terakhir kali berlangganan koran -- sepertinya tiga belas tahun yang lalu, waktu yang lama ya! Sejak berhenti berlangganan koran, saya pun jarang sekali membeli koran. Tak tahulah kenapa saya malas membeli koran, padahal harganya murah sekali. Kalau membacanya, tiap kali ada koran yang tergeletak pasti saya baca. Walau saya membacanya secara acak, mencari kolom berita yang saya suka saja untuk dibaca pertama kali (biasanya berita seputar olahraga --sepak bola, atau entertainment). Atau hanya menyisir kolom-kolom berita di koran tanpa membacanya lebih lanjut. Benar-benar seenaknya saja dan sesuka hatinya dalam membaca koran.

Di zaman sekarang yang serba canggih, berita dapat diakses secara online dengan cepat dan mudah, mungkin keberadaan koran menjadi tersingkirkan. Tapi kelak saya ingin berlangganan koran. Karena buat saya, koran tetap punya nilai tersendiri, nilai emosional kalau saya bisa bilang. Karena saat melihat koran yang tergeletak di kamar (sehabis dibaca mami) dan mengingat pertemuan kembali dengan tukang koran papi, membuat saya teringat sesosok pria yang suka membaca koran dengan bantuan kacamata, ya, papi saya. Sudah lama tentu saya tidak melihat sesosok pria tengah membaca koran di rumah. Mungkin kelak, saya bisa melihat kembali sosok pria membaca koran di teras rumah, menyeruput teh hangat, sambil mengobrol bersama setiap harinya, menumbuhkan getar-getar cinta di dada. Tentu saja, koran harian menjadi saksi bertumbuhnya rasa dan kebahagiaan dalam dua jiwa itu. 


August 27, 2013
10:28 p.m.

Senin, 26 Agustus 2013

Perahu Kertas

Perahu kertasku kan melaju..membawa surat cinta bagimu.. kata-kata yang sedikit gila..tapi ini adanya




Saya sedang tidur-tiduran saat lagu itu terputar dari siaran radio, membuat saya yang sedari tadi memikirkan akan menulis cerita apalagi seketika mendapatkan ide. Ya, perahu kertas. Ada banyak perahu kertas berlabuh di dalam kamar. Bukan apa-apa, terkadang saya suka iseng melipat-lipat kertas. Berhubung saya cuma bisa membuat perahu kertas, maka saya terus membuatnya. Mungkin kalau saya bisa membuat bentuk yang lainnya, saya akan membuat yang lain-lainnya. Biasanya saya melipat kertas saat sedang tidak ada kerjaan, paling sering melipat karcis BRT saat di dalam bus (sayang sekarang kalau tidak transit, tidak mendapatkan karcis, dan saya jadi kehilangan *beneran ini*). Terkadang saya membayangkan akan ada penumpang bus yang ingat kalau ada penumpang yang tangannya tidak bisa diam di dalam bus. Tidak bisa diam bukan karena sibuk sms-an, atau sibuk dengan gadget, tapi sibuk membuat perahu kertas. Setelah perahu kertas itu jadi, saya pun tidak membuangnya, malah membawanya sampai ke rumah dan tidak sengaja jadi mengumpulkannya.

Perahu kertas yang masih berlabuh di kamar. Tak ada surat cintanya, hanya kertas karcis BRT atau kertas tak terpakai lainya. Oh ya, ingat perahu kertas (secara harfiah) tentu saja jadi ingat karya ibu suri Dewi Lestari, novel Perahu Kertas yang juga telah difilmkan. Saya suka semuanya, suka novel Perahu Kertas, suka filmnya, juga soundtrack-nya. Jarang-jarang saya bisa menyukai semuanya. Banyak sekali novel yang saya baca, kemudian saat diangkat ke layar lebar malah menebar kecewa buat saya. Tapi tidak dengan Perahu Kertas, i love the whole package of it : novel, film, and the songs. Banyak kutipan-kutipan apik di dalam novel, saya juga suka bagaimana Dee membuat aliran sendiri dengan menciptakan istilah "radar neptunus", agen neptunus", "pura-pura ninja", i just love that! Juga suka dengan filmnya yang dimainkan dengan baik dan pas oleh para pemain (suka banget sama Remi, pengin puk-pukin Remi pasca putus sama Kugy di pantai), begitu juga dengan soundtrack-nya yang ciamik. Oh ya, kalau boleh memilih scene di film untuk menjelma jadi nyata, saya hanya ingin yang di bagian Kugy dan Keenan bertemu lagi di pernikahan  Noni -Eko. Begini kurang lebih dialognya: "Kemana aja bertahun-tahun ngilang gak ada kabarnya?" | "Saya di Bali, gy..."| "Kamu ngomong di Bali kayak abis study tour aja"|  Udah, cukup begitu saja scene pilihan saya. Selanjutnya, biar menjadi cerita tersendiri yang tentu tak kalah seru dan apiknya dengan cerita Perahu Kertas ini.

Perahu kertas masih berlabuh di kamar, tak ada surat cinta yang tertuju untuk siapa-siapa.  Lagipula, saya membuatnya bukan untuk seperti yang ada di lirik lagu, hanya karena iseng saja.


Note: lagi gak connect buat nulis, jadi ceritanya berantakan en kemana-mana gini. *lah, biasanya juga berantakan kali,ah mau connect mau kagak. Dah ah! :D



*Additional note: Whoaaa~~~ i got the scene! Iyah, itu loh scene yang Kugy & Keenan bertemu lagi dan ngobrol-ngobrol lagi. Seneeng ih liatnya! :)



 

Sample text

Sample Text